Minggu, 25 Desember 2016

Henna di Hari Pernikahan

Memakai henna di hari pernikahan. Sejak kapan sih sebenarnya henna jadi trend, khususnya untuk pengantin perempuan di hari pernikahannya? Saya sendiri gak tau kapan persisnya. Yang jelas, pertama kali melihat langsung teman saya memakai henna saat menikah adalah saat saya masih semester pertengahan kuliah. Gak cuma tangannya yang dihenna, kakinya pun iya. Dan saat saya tanya berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk henna tersebut, kalau saya gak salah ingat biayanya adalah tujuh ratus ribu!

Sejak saat itu saya membatin, kayaknya saya gak akan berencana memakai henna saat menikah nanti. Duh, sayang uangnya. Hehe. Bayar mahal, terus bakal ilang begitu saja tanpa bekas. Lagian apa pentingnya sih? Kan gak mempengaruhi esensi dari pernikahan itu sendiri, kan?

Tapi itu dulu. Hati manusia mudah terbolak-balik, kan? Nyatanya beberapa bulan menjelang menikah, saya akhirnya kepincut juga pada foto-foto tangan ber-henna yang bertebaran di instagram. Apalagi saat melihat semakin banyak teman yang saat menikah memakai henna, makin pengenla, jelas!

Gayung serasa bersambut, ketika saya bertemu dengan seorang teman baru di tempat kajian yang punya ketrampilan meng-henna, bahkan sudah sering mendapatkan job henna untuk pernikahan. Saya sempat tanya-tanya. Biasanya dia pasang tarik sekitar tujuh puluh ribu per satu tangan, plus biaya transport tentunya. Ini yang bikin saya agak mikir. Dia tinggalnya di Semarang, sedangkan acara pernikahan saya di Jepara. Untuk jarak Semarang-Jepara yang cukup jauh, tentu saja butuh biaya transport yang juga lumayan. Hehe.

Saya lalu iseng-iseng googling henna pernikahan di Kota Jepara. Sayangnya, saat saya menghubungi salah satu nomor yang tertera di webnya, sama sekali gak ada respon :( Lalu saat saya sedang chit-chat dengan salah satu teman dekat saya sejak SMP, saya terbersit untuk tanya ke dia. Siapa tau dia punya rekomendasi. Dan benar saja, dia berjanji menanyakan nomor HP dari seorang peng-henna yang jasanya dipakai temannya yang baru menikah beberapa minggu sebelum saya.

Namanya Mbak Khadijah. Keturunan Arab, cantik banget. Ramah pula. Saya menghubunginya pertama kali lewat SMS, lalu selanjutnya kami bertukar Pin BBM. Dia memasang tarif enam puluh ribu per satu tangan. Dia juga minta tambahan transport lima puluh ribu. Meskipun sama-sama di Jepara, tapi rumah Mbak Khadijah di Jepara kota, sedangkan saya di pelosok. Hehe. Jadi saya cukup maklum. Finally, deal saya booking Mbak Khadijah di tanggal 6 Mei 2016 untuk meng-henna tangan saya. Yang butuh kontak jasa henna untuk pernikahan di Kota Jepara, hubungi saya ya =))

A photo posted by Rosa Susan (@rosalinasusanti) on

Beliaunya datang ba'da dhuhur waktu itu. Proses henna-nya gak terlalu lama, sekitar satu jam saja, lalu dilanjutkan prosespengeringan sekitar lima belas menit. Saya request model henna yang gak terlalu rumit waktu itu. Hasilnya cukup memuaskan buat saya pribadi, meski ada beberapa bagian yang sedikit kurang rapi.

Buat apa sih henna di hari pernikahan? Ya biar cantik aja sih. Hehe. Terutama saat di foto. Maklumlah, kan di hari pernikahan ceritanya kita adalah ratu, jadi harus istimewa dong tampilannya. Dengan catatan biayanya gak berlebihan aja sih kalau saya. Misal harga henna-nya tujuh ratus ribu saya kayaknya ogah =D

Tuu, jadi cantik kan (tangannya) =D

Kalau kamu gimana, mau pakai henna gak waktu nikah nanti?

Minggu, 18 Desember 2016

Catatan Kehamilan: Periksa Keenam [27w] dan berbagai Drama yang Menyertainya

Alhamdulillah Ya Allah... Gak kerasa sekali sudah separuh lebih perjalanan kehamilan saya. Betapa bersyukurnya saya telah diijinkan untuk merasakan nikmat hamil ini.

Lagi-lagi, ini late post, tentang periksa kehamilan yang ke-enam pada tanggal 2 Desember 2016. Memasuki umur kehamilan 27 minggu ini, Alhamdulillah cenderung hampir gak ada keluhan. Em, kalaupun ada, paling migrain di pagi hari yang akan segera hilang dalam beberapa jam. Itupun Alhamdulillah udah gak saya rasakan beberapa hari terakhir.

Tapi, pada periksa kehamilan kali ini saya mendapat teguran sekaligus ultimatum oleh dokter. Gara-garanya, kami dibuat tercengang oleh angka timbangan yang menunjukkan kenaikan sebanyak 5 Kg sejak periksa kehamilan yang terakhir. Itu angka kenaikan yang berlebihan dalam sebulan, menurut dokter. Lalu dokter Retno bertanya apakah saya sering makan mie. Saya jawab tegas, tidak. Fiuhh, makan nyicip mie-nya mas suami dua sendok saja saya merasa bersalah sekali rasanya. Pertanyaan dokter berlanjut, apakah saya sering makan roti. Nah, kalo yang ini bikin saya meringis mengiyakan. Dalam sebulan ini, saya sering sekali makan roti. Gara-gara ibu mertua sempat masuk rumah sakit, rumah jadi kayak gudang roti dari para pembesuk. Ya siapa lagi yang menghabiskan kalau bukan kami yang sehat. Hehe. Setelah saya mengiyakan, dokter Retno tegas meminta saya berhenti ngemil roti, dan menghimbau untuk gak boleh ngemil selain buah.

Alhamdulillahnya, melalui pemeriksaan USG, berat badan adek bayi masih standar -- sesuai dengan umurnya. Tapi tetap saja dokter bilang kalau pola makan saya gak diatur mulai sekarang, bisa jadi di bulan-bulan terakhir berat badan adek bayi melonjak. Saat ini berat adek bayi sudah mencapai angka 1,02 Kg. Sehat. Lagi-lagi, Alhamdulillah. Ohya, soal keputihan, dokter tanya perkembangannya. Saya bilang tetap ada, tapi kuantitasnya sedikit. Menurut dokter retno, kalau sedikit dan gak berbau atau bikin gatal ya gak masalah.

Di akhir konsultasi, saya sempat bertanya kapan sebaiknya kalau mau USG 4D. Dokter Retno menyarankan akhir bulan Desember, atau awal Februari. Akhirnya, sebelum pulang saya mendaftar sekalian untuk USG 4D pada tanggal 22 Desember 2016, karna menurut petugas pendaftarannya kalau lebih dari tanggal itu usia kehamilan saya sudah terlalu tua untuk USG 4D. Takutnya jadi gak maksimal.

Konsultasi kami di periksa kehamilan ke-enam ini memang cenderung gak lama. Karna ya itu, Alhamdulillah saya hampir gak ada keluhan. Menjelang trimester ke-tiga ini, saya merasa enjoy. Mungkin karna badan saya sudah 'selesai' beradaptasi. Bengkak di kaki juga mulai berkurang.

Tapi, jalan cerita Allah memang sering sekali mengejutkan. Periksa kehamilan yang 'adem-ayem' tersebut, ternyata berlanjut dengan beberapa drama yang sama sekali gak terduga.

Drama Pertama

Rabu tanggal 7 Desember, saya masuk kerja seperti biasanya. Saya merasa sehat-sehat saja, sama sekali gak ada hal gak nyaman yang saya rasakan.

Sekitar pukul 10, saya ke dapur kantor untuk meminta tolong OB membelikan saya cemilan, karna lapar dan kebetulan lagi gak bawa persediaan cemilan dari rumah. Sekembalinya dari dapur, saya sekalian mampir toilet untuk pipis. Setelah pipis, saya terkejut melihat tissue yang saya gunakan untuk mengeringkan daerah kewanitaan berwarna merah. Saya coba sekali lagi, merah lagi. DEG, darah!

Jelas saya panik dan takut. Saya cari mas suami, ternyata gak ada di ruangannya. Akhirnya saya manggil mbak ipar yang juga kebetulan satu kantor. Sambil menangis, saya cerita bahwa saya pendarahan, dan memintanya mencari suami saya. Gak lama berselang, mas suami datang dengan wajah panik, dan langsung membawa saya ke UGD Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, ditemani mbak ipar juga.

Di UGD, seorang bidan mengecek detak jantung janin saya. Betapa lega ketika saya mendengar detak jantungnya masih sehat seperti biasa. Setelah ditensi, dll, saya dirujuk ke poly obsgyn untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Di poly obsgyn, saya diperiksa oleh dokter Yulice. Melalui USG, dokter mengatakan bahwa sebab pendarahan yang baru saja saya alami adalah karna letak plasenta saya rendah. Subhanallah :(

Sempat juga saya diperiksa 'dalam'. Alhamdulillah sudah gak ada tetesan darah. Tapi saya tetep harus waspada, karna kata dokter Yulice letak plasenta yang rendah bisa saja menyebabkan pendarahan lagi di lain waktu. Beliau meminta saya bedrest tiga hari, sekaligus menghimbau agar rencana mudik ke Jepara tanggal 10 Desember dibatalkan, setelah mas suami bertanya soal itu :(

Drama selanjutnya saya ceritakan di post yang berbeda, ya.. Sekaligus cerita tentang periksa kehamilan ke-tujuh.

Minggu, 11 Desember 2016

Catatan Kehamilan: Periksa Kelima [22w6d]

Ini too late post banget. Soalnya periksanya aja sudah awal bulan lalu, dan bahkan sudah selesai periksa yang ke-enam. Hihi. Tapi saya tetep kekeuh pengen mencatat setiap tahapan periksa pada sebuah blogpost. Biar bisa di baca-baca lagi saat hamil kedua nanti 😁


Kalau pada periksa kehamilan ke-empat cukup banyak yang istimewa; di antaranya deg-degan sama hasil cek darah plus jenis kelaminnya si adek udah kelihatan, pada periksa kehamilan kali ini cenderung datar.

Eh, ada sih yang istimewa. Berat badan saya sudah melampaui angka 50 Kg teman-temaaan. Tepatnya 51 Kg. Yeaayyy 😀 Kenapa ini istimewa sekali?? Karena belum pernah sekalipun berat badan saya melampaui angka 45 Kg sebelumnya.

pipisnya gak kelihatan ya kalo di foto. haha
Si Adek juga kasih kejutan periksa kehamilan kali ini. Sewaktu di USG, ternyata dia lagi pipis, dan kelihatan di layar USG. Hahaha. Saya baru tau kalau janin dalam kandungan itu juga sudah pipis segala 😀

Soal keluhan, masih sama. Kaki bengkak tiap pulang kerja. Tapi saya sudah mulai terbiasa. Toh setelah dibuat tiduran, Alhamdulillah bengkaknya ilang. Soal keputihan juga masih tetep bikin resah. Salahnya, saya gak teratur pakai obat yang diresepkan oleh Dokter. Seperti yang saya ceritakan di catatan kehamilan sebelumnya, obat untuk keputihan yang diresepkan itu bukan untuk diminum, melainkan dimasukkan langsung melalui lubang Ms. V menjelang tidur malam. Efeknya, pagi-pagi ketika bangun tidur, gak nyaman banget rasanya. Berminyak dan... argh, pokoknya gak nyaman. Makanya saya agak malas-malasan pakainya.

Oleh karena itu, di periksa kali ini mas suami meminta dokter untuk meresepkan ulang, dan memaksa saya untuk lebih teratur dari sebelumnya. Baiklah 😏

Emm, terus apalagi ya. Ohya, beratnya adek bayi di usia 22 week ini Alhamdulillah sudah setengah kilo lebih. kata dokter itungannya lumayan endut. Sehat terus ya, Nak...

Udah sih, itu saja sepertinya cerita periksa kehamilan kali ini. Mohon doa agar saya dan janin diberi kesehatan serta keselamatan selalu ya, teman-teman 😊

Selasa, 29 November 2016

Perbedaan Gaya Komunikasi Antara Suami dan Istri


Pernah gak sebel sama suami karena suatu hal, tapi kita memilih untuk diam -- berharap suami bisa paham perasaan kita tanpa kita harus mengungkapkannya secara langsung?

Saya sering =D

Pernah gak pengin sesuatu, tapi gengsi untuk bilang, lalu memilih mengirimkan kode pada suami? Misal, lagi pengin diajak piknik, lalu kita nge-share artikel tentang pentingnya mengajak istri piknik di FB, berharap suami paham bahwa itu merupakan kode -- tapi sayangnya bahkan di bacapun enggak.

Lagi-lagi, saya sering =D

Dan ending dari semua itu rata-rata selalu sama. Saya yang semakin uring-uringan dan termehek-mehek karna merasa suami sama sekali gak peka. Gak ngerti perasaan istrinya. Berkali-kali pula suami menekankan, bahwa ia tak tau maksud dan keinginan orang yang diam, karna dia bukan dukun.

Atas kasus hobi kirim kode dan gagal menangkap kode ini, istri seringkali menuduh suami gak peka, sedangkan suami menganggap istri gak jelas. Hehehe.

Lalu saat kita (istri) sedang ingin menumpahkan segala hal yang terasa memenuhi hati dan pikiran. Pernah gak bukannya lega, kita malah dibikin bete karna suami menanggapi dengan berbagai nasehat dan solusi atas apa yang kita ungkapkan, sedangkan kita menganggap semua itu bukanlah solusi yang tepat. Lalu di akhir pembicaraan, dengan sewot kita menutupnya dengan satu pernyataan, 'kamu tu gak ngerti!'. =D

Pada saat yang lain, adakalanya suami tampak jauh lebih pendiam. Insting kita sebagai istri seringkali tau bahwa ia sedang menanggung sebuah beban pikiran. Lalu dengan segenap cinta kita menawarkan telinga untuk mendengarkan segala ceritanya -- seperti kita juga selalu menginginkan hal yang sama saat sedang ada masalah, tapi suami dengan cool-nya menjawab, 'gak ada apa-apa kok'. Kemudian kita terluka. Merasa ia tak percaya pada kita karna enggan berbagi masalahnya.

Pernah mengalami itu semua?

Meski belum lama berumah-tangga, saya sepertinya sudah pernah mencicipi itu semua. Pernah suatu hari, saya menyodorkan buku tentang pernikahan pada suami. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa ketika perempuan (istri) sedang bercerita tentang masalah-masalahnya, ia sebenarnya hanya butuh didengarkan. Karena hanya dengan mendengarkan dengan baik, istri merasa sudah dibantu untuk menyelesaikan 75% masalahnya.

"Tuuu mas, jadi kalo aku lagi curhat mas jangan motong dengan nasehat-nasehat atau tawaran solusi, karna itu malah bikin aku bete!" begitu ucap saya.

Tapi saya kecele saat di sub-bab berikutnya dijelaskan bahwa seorang lelaki cenderung fokus untuk merenung dan mencari jalan keluar saat sedang ada masalah, bukan dengan bercerita. Saya malu pada diri sendiri, berarti saat suami gak mau cerita, bukan berarti dia gak percaya sama saya, tapi memang begitulah caranya menghadapi masalah.
Saya jadi ingat kata Ustadz Salim A Fillah dalam sebuah seminar pra-nikah yang saya tonton di Youtube. Beliau mengacu pada buku "Men Are From Mars, Women Are From Venus" karya John Gray. Bahwa laki-laki dan perempuan tumbuh dengan kemampuan linguistik yang jauh berbeda. Perempuan punya linguistik dan kepekaan perasaan luar biasa, sehingga membuatnya mampu (dan suka) mengungkapkan sesuatu secara terselubung, atau istilah masa kininya kode. Sedangkan kemampuan linguistik laki-laki gak cukup berkembang untuk bisa menangkap maksud-maksud terselubung yang dilemparkan perempuan.

Salahnya saya, bukannya menggunakan pengetahuan tersebut sebagai bekal memahami suami, saya malah menggunakannya sebagai 'senjata' untuk menuntut suami memahami saya.

Berulang-kali saya sewot karna suami gak juga paham saat saya mengirimkan kode, berulang-kali pula suami marah dan meminta saya ngomong dengan jelas tanpa perlu kode-kodean. Kalau dipikir-pikir, mengungkapkan sesuatu pakai kode memang bikin capek, kan? Tapi gimana ya, ada rasa gengsi yang gak bisa diungkapkan saat harus mengungkapkan sesuatu secara gamblang. Dan saya menggunakan teori 'laki-laki dari Mars, perempuan dari Venus' itu sebagai dalih pembenaran atas keengganan saya melakukan penyesuaian pola komunikasi dengan suami.

Tapi kemudian suami saya melontarkan teori yang bikin saya terdiam.

"Mas dari Mars, kamu dari Venus... tapi kita bertemu dan bersatu di Bumi. Jadi Ayok kita kesampingkan sifat-sifat bawaan kita dari Mars dan Venus, lalu sama-sama menggunakan sifat Bumi. Jadi bisa selaras." begitu katanya.

Ah, iya ya. Harusnya pengetahuan atas perbedaan yang saya, bukan saya gunakan sebagai senjata menuntut suami untuk memahami, tapi sebagai bekal agar bisa saling memahami dan menyesuaikan agar perbedaan  yang ada gak menjelma menjadi jarak yang semakin melebar.

Pernah gak punya pengalaman soal perbedaan komunikasi dengan pasangan? Share, yuk :)

Rabu, 23 November 2016

Lika-Liku Adaptasi di Masa-Masa Awal Pernikahan (Part. 2)



Di postingan sebelumnya saya bilang bahwa lika-liku adaptasi di masa awal pernikahan hanya terdiri dari penyesuaian kebiasaan yang bisa dibilang sepele. Sepertinya saya harus klarifikasi. Jujur saya akui, adaptasi di masa awal pernikahan ada kalanya terasa berat dan rumit. Tapi kembali lagi kuncinya tetap pada gimana sikap kita saat menghadapinya.



Lika-liku adaptasi akan semakin terasa dinamikanya jika setelah menikah kita harus tinggal di rumah mertua - karna satu dan lain hal. Bagaimanapun, saat tinggal di rumah mertua kita seperti punya 'beban mental' untuk menunjukkan pada mereka bahwa anaknya gak salah memilihkan menantu. Di sisi lain, kita harus tetap bisa menjadi diri sendiri agar tetap nyaman dan gak merasa teriksa.


Saya anak bungsu dari tiga bersaudara. Ibu kandung saya adalah sosok ibu yang terlalu baik, sehingga gak pernah memaksa anak bungsunya ini memegang segala macam pekerjaan rumah. Jadilah, saya tumbuh jadi gadis yang gak terbiasa dan gak lincah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Jujur saja bagian ini cukup saya sesali setelah menikah. Coba dari dulu saya membiasakan diri, pasti gak terlalu kaku setelah menikah. Jadi dulu saat masih tinggal di rumah, kegiatan sehari-hari saya: bangun subuh, sarapan sudah siap, kadang bantu nyapu ruang TV dan ruang tamu (itupun gak rutin), lalu berangkat sekolah atau kerja. Sore saat pulang sekolah atau kerja, mandi, makan malam, nonton TV, tidur. Saat mulai kerja di luar kota dan harus kost, kegiatan saya gak jauh beda -- lebih parah malah =D Bangun subuh, gegoleran di kasur sambil mainan gadget atau baca novel, mandi, sarapan, berangkat kerja. Pulang kerja sore, gegoleran di kasur, mandi, makan, ngrumpi sama temen-temen kost, tidur. Begitulah hidup saya di masa lalu.

Bisa bayangkan seperti apa lika-liku adaptasi yang harus saya lalui setelah menikah dan harus tinggal sama mertua? =D

Mertua saya dua-duanya rajin sekali. Bangun hampir selalu sebelum subuh. Saat habis sholat subuh saya turun (kamar saya dan suami di lantai dua, sedangkan mertua di bawah), ibu mertua saya sudah selesai nanak nasi, siap-siapin bahan masakan, beres-beres macem-macem. Lantai sudah kinclong, dan ternyata ibu mertua punya kebiasaan ngepel sebelum tidur, sedangkan menantunya yang cantik gak tau diri ini sudah bobok cantik di kamar. Bisa bayangkan betapa malunya saya? Gak usah ditanya seperti apa bingungnya saya di masa-masa awal menikah dulu -- ingung harus ngapain. Ini salah satu efek dari saya yang belum terbiasa dan terlatih mengerjakan aneka pekerjaan rumah tangga.


Alhamdulillah suami dan ibu mertua sabar membimbing saya =)) Perlahan-lahan saya mulai tau kalau pagi harus ngapain aja. Tapi, membiasakan diri untuk mengikuti pola bangun paginya mertua sungguh bukan hal mudah :( Mereka gak pernah menuntut dan memaksa saya untuk itu sih, tapi saya merasa butuh sendiri biar bisa lebih maksimal mengerjakan pekerjaan rumah sebelum berangkat kerja. Tapi apa daya, sampai sekarang usaha saya belum membuahkan hasil :(

Itu baru soal pola bangun tidur dan pekerjaan rumah tangga. Lika-liku lainnya saya rasakan soal lidah. Iya, lidah alias selera makan. Saya penggemar pedas. Lauk apapun kalau gak pedas rasanya hambar. Sedangkan keluarga suami terutama bapak-ibu mertua sama sekali bukan penggemar pedas. Di awal-awal masa pernikahan, ini cukup bikin saya galau. Hehe. Saya juga tipe orang yang kalau makan dengan lauk yang sama berturut-turut pasti langsung gak mood makan. Sedangkan ibu mertua tipe yang selama ada lauk yang belum habis, ya berarti makan itu lagi sampai lauk tersebut habis. Satu lagi yang lucu. Dari dulu saya sama sekali gak suka sayur lodeh. Dulu tiap ibu masak sayur lodeh, saya pasti ngambek gak mau makan. Sampai akhirnya beliau memilih untuk gak pernah masak sayur lodeh daripada saya ngambek. Sedangkan ibu mertua, saat belum tau saya gak suka sayur lodeh, dulu lumayan sering masak sayur tersebut. Berhubung masih baru banget jadi menantu, saya gak berani bilang gak suka. Ya sudah saya memaksa diri untuk tetap memakannya. Pernah juga saya disuruh masak sayur lodeh. Duh, gimana mau bisa kalao suka aja enggak, kan? Untung ada Mbah Google tempat saya bertanya =D Tapi dilema sayur lodeh sudah teratasi karna akhirnya mas suami membeberkan rahasia saya yang gak suka sayur lodeh. Hehe.

Itu cuma beberapa point tentang lika-liku adaptasi di masa-masa awal pernikahan. Di lapangan, tentu saja akan jauh lebih banyak dan beragam variasinya. Sekali lagi, bagi yang belum menikah, gak perlu takut apalagi parno. Lika-liku ini jika dihadapi dengan positif thinking akan menjadi salah satu fase pembelajaran yang luar biasa bagi kita. Terutama pelajaran tentang mengalahkan ego pribadi :) Saat sudah menikah, sudah bukan saatnya meletakkan ego pribadi di atas segala-galanya. Sudah bukan saatnya bilang 'Aku itu...", tapi harus mencari jalan tengah yang bisa membuat ego kita dan pasangan serta ego orang-orang di sekitar tak terkecuali mertua membaur menjadi satu perpaduan indah.

Yuk bagi cerita lagi bagi yang punya pengalaman lucu, menarik atau inspiratif tentang lika-liku adaptasi di masa-masa awal pernikahan :)

Jumat, 18 November 2016

Lika-Liku Adaptasi di Masa-Masa Awal Pernikahan (Part. 1)



Lika-Liku Adaptasi di Masa-Masa Awal Pernikahan. Bagi yang masih single dan sedang merencanakan pernikahan, bayangan awal masa pernikahan pastilah menjadi salah satu yang mendominasi pikiran. Masa-masa awal pernikahan adalah masa yang penuh bunga dan madu, begitu kata banyak orang. Gak salah sih, tapi juga gak sepenuhnya benar.

Baca juga: Cerita Tentang Seminggu Pertama Pernikahan

Memang di masa awal pernikahan gairah cinta masih amat menggelora. Dunia serasa milik berdua. Itulah potret yang sering kita tangkap saat melihat pengantin baru. Tapi bagi kita yang sudah menikah pasti tau, bahwa di balik itu juga ada dinamika dan lika-liku yang terkadang ingin kita simpan sendiri.

Dan lika-liku di masa-masa awal pernikahan itu bernama adaptasi.

Jangan dikira menikah dan hidup bersama dengan orang yang sangat kita cintai gak memerlukan adaptasi. Sayangnya cinta gak seampuh itu untuk mampu membuat dua orang atau lebih hidup bersama tanpa perlu adaptasi. Lha wong sama orangtua kandung yang hidup bersama sejak orok dan cintanya gak pernah kita ragukan saja kadang butuh adaptasi, kan?

Masa adaptasi di awal pernikahan, seringkali menguras perasaan. Gak perlu merasa parno bagi yang belum menikah. Yang menguras perasaan sebenarnya bukan hal-hal yang serem-serem kok. Kadang malah lebih sering hal-hal sepele. Contohnya...

Kita terbiasa selalu meletakkan barang ke tempat semula setelah digunakan, sedangkan pasangan kita terbiasa menaruh sembarangan.

Kita terbiasa memencet pasta gigi dari ujung bawah, sedangkan pasangan kita terbiasa memencetnya dari tengah.

Kita terbiasa dengan jam tidur yang teratur dan mengidamkan 'pillow talk' sebelum tidur, sedangkan pasangan kita terbiasa begadang dan menghabiskan waktu di depan komputer sebelum tidur.

Dan lain sebagainya...

Tuuu kan, apa saya bilang, cuma masalah-masalah sepele, kan? Saya bukannya gak punya gambaran tentang ini sih sebelum menikah. Saya melahap banyak buku-buku tentang pernikahan saat masih single, dan hal-hal di atas hampir selalu menjadi bagian dari isi buku. Tapi mengalaminya secara langsung ternyata tetep saja seru-seru gimanaaaa gitu. Meskipun lika-liku adaptasi di masa awal pernikahan kebanyakan hanya seputar masalah kebiasaan yang bisa dibilang sepele, tetep aja jangan dianggap remeh. Kalau kita gak punya kesiapan menghadapinya, lika-liku yang harusnya bisa terasa seru jika dihadapi dengan bekal kesiapan bisa menjadi sesuatu yang menguras air mata dan makan hati. Hehe.

Tapi sekali lagi, lika-liku adaptasi tersebut bisa kita transformasikan menjadi keseruan yang membuat suasana dengan pasangan jadi cair. Contohnya teman saya. Gara-gara suaminya yang kebiasaan menaruh handuk sembarangan setelah mandi, akhirnya teman saya memberlakukan sistem denda. Siapa di antara mereka yang lupa menaruh handuk ke tempatnya, harus bayar denda yang dimasukkan ke sebuah tempat khusus yang telah dipersiapkan. Apa cara itu efektif? Yup! Ternyata dengan sistem denda, si suami teman saya itu jadi termotivasi dan merasa malu kalo harus bayar denda, meski nominal gak seberapa. Yang bikin makin seru, ketika suatu saat teman sayalah yang lupa menaruh handuk. Derai tawa dan saling bully pun tak terelakkan =D

Saya sendiri pernah menangis tersedu-sedu pada suatu malam. Apa sebabnya? Malam itu saya punya kewajiban menyetrika baju yang sudah semakin menggunung, padahal saya sudah pengeeennn banget selonjoran di kasur sambil FB-an #halah. Kalau gak salah saat itu belum ada dua bulan saya menikah, jadi 'jiwa single' saya masih kental. Biasanya jam segitu saya sudah leyeh-leyeh di kasur sambil mainan HP, eehhh itu harus nyetrika dan kuantitasnya dobel karna yang saya setrika sekarang gak cuma baju saya, melainkan ditambah baju suami saya. Padahal dulu nyetrika baju sendiri saja selalu dadakan saat mau dipakai -_- Itulah sebabnya saya menyetrika sambil menangis saat itu. Kok nikah seberat ini, gitu pikir saya. Haha. Saat suami datang dan bertanya kenapa saya menangis, saya ngakunya kangen sama ibu. Buahahaha. Gak mungkin lah saya ngaku, jaim dikit lah =D

Yah, begitulah. Sesungguhnya di balik status-status berbunga-bungan serta postingan foto romantis pasangan pengantin baru yang mewarnai timeline FB kita, ada perjuangan untuk beradaptasi dibaliknya. Hihihi. Tapi ya gak usah dinyinyirin lah, jauh lebih bagus mereka mengumbar kebahagiaan di timeline, daripada mengumbar keluhan atau nyinyiran, hayoo??

Yang punya pengalaman serunya adaptasi dengan pasangan di awal pernikahan, share yuk :)

Selasa, 08 November 2016

Catatan Kehamilan: Periksa Keempat [19week]

Catatan kehamilan tentang periksa keempat nulisnya telat pakai banget. Sebulan! Haha. Bahkan kemarin saya barusan periksa kehamilan yang kelima =D Tapi gak papa, saya pengen tetep nulis lengkap dan berurutan :)

Periksa kehamilan yang keempat sebenarnya kami (saya dan Mas Suami) niati tanggal 4 Oktober, dengan jadwal tes laboratorium terlebih dahulu. Menurut info yang kami terima dari dokter Retno pada periksa kehamilan sebelumnya, hasil tes laboratorium bisa keluar satu-dua jam setelah dilakukan tes. Maka beliau merekomendasikan saya tes lab sore hari sembari menunggu beliau mulai praktek. Saya dan Mas Suami pun mengikuti anjuran tersebut.

Baca: Catatan Kehamilan Periksa Ketiga [14week]

Tanggal 4 Oktober 2016, sepulang dari kantor kami langsung menuju RSIA Kusuma Pradja. Setelah daftar untuk tes lab sekaligus periksa dengan dokter Retno, kami dipersilakan menuju lab RSIA Kusuma Pradja yang terletak di lantai dua. Saat bertemu dengan petugas lab dijelaskan bahwa ternyata untuk tes TORCH hasilnya gak bisa langsung jadi, melainkan baru bisa jadi sehari setelah tes, alias besok sore. Seperti yang saya ceritakan di catatan kehamilan sebelumnya, saya berkeinginan melakukan tes TORCH meskipun gak lengkap (karna mahal). Setelah diskusi sama suami, kami akhirnya sepakat periksanya besok sore aja, setelah hasil lab jadi, biar bisa sekalian ditunjukkan hasilnya pada dokter Retno. Jujur agak kecewa sore itu, soalnya sudah gak sabar pengen ketemu si adek melalui layar. Jadi sore itu akhirnya cuma diambil darah sama urine aja.

Sore hari berikutnya -- tanggal 5 Oktober -- kami datang lagi ke RSIA Kusuma. Hasil tes lab sudah jadi, an diambil di loket pendaftaran. Dag dig dug baca hasil lab-nya, terutama bagian TORCH-nya. Sekitar setengah tujuh malah, nama saya dipanggil. Setelah dokter Retno membuka hasil lab-nya, beliau bilang semua bagus. Untuk bagian tes TORCH-nya menunjukkan bahwa saya belum pernah terinfeksi virus tokso maupun rubella. Alhamdulillah, lega. Tapi kata dokter Retno itu malah artinya badan saya belum punya antibodi terhadap dua virus tersebut. Sedangkan untuk virus CMV-nya menunjukkan saya sudah pernah terinfeksi di masa lampau, dan itu artinya saya sudah punya antibodi terhadap virus tersebut. Pesen dokter Retno, positif thinking aja. Yang penting berusaha untuk selalu jaga kondisi. Yang lain-lain Alhamdulillah bagus semua, termasuk protein dalam urine, Alhamdulillah negatif. Doakan saya sehat selalu, ya :)


Soal keputihan, ini cukup bikin saya resah karna masih saja berlanjut. Meski gak berbau dan gak bikin gatal, tapi warnanya yang agak kekuningan bikin saya cukup galau. Lalu dokter Retno meresepkan sebuah obat, tapi tidak untuk diminum melainkan dimasukkan ke Ms. V. Bismillah, semoga dengan perantara obat tersebut keputihan saya sembuh. Aamiin. 

Nah, sekarang masuk ke bagian terfavorit sekaligus paling bikin grogi, yaitu USG. Pertama dokter Retno menunjukkan bagian-bagian tubuhnya si adek yang terlihat di layar. Alhamdulillah sudah terlihat dua tangannya dan dua kakinya. Telapak kakinya terlihat jelas sekali, Masya Allah... seneng :') Terus saya nyeletuk tanya, "jenis kelaminnya udah kelihatan belum, dok?". dokter Retno senyum, bilang belum. Beberapa saat menggerak-gerakkan alatnya lagi, tiba-tiba beliau senyum. "Eehh, sudah kelihatan ternyata kelaminnya!". Saya langsung semangat, "Cewek apa cowok, dok?". dokter Retno tersenyum. "Cowok, Insya Allah," jawabnya.


Huaaaa... mata saya berkaca-kaca. Hati saya buncah. Entah kenapa sejak awal hamil saya udah feeling banget si jabang bayi yang ada dalam perut saya adalah cowok. Padahal saya dan Mas Suami netral aja sih, gak ada keinginan yang condong banget ke cewek atau cowok. Apapun, asalkan sehat, selamat dan sempurna itu sudah lebih dari cukup bagi kami.

Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang harus kami dustakan? :')

Senin, 24 Oktober 2016

Agar Tetap Bahagia Meski Tinggal Bersama Mertua


Setelah menikah, idealnya langsung tinggal terpisah dari orangtua, meskipun harus ngontrak. Begitu kata beberapa orang. Lebih ideal lagi kalau sudah punya rumah sendiri ya. Tapi itu kan kondisi idealnya. Sedangkan hidup seringkali memaksa kita untuk gak selalu ada di kondisi ideal tersebut.

Bagaimana jika ternyata suami kita adalah seorang anak tunggal atau anak bungsu, sedangkan orangtuanya sudah lanjut usia. Hanya suami kitalah yang diharapkan untuk bisa menemani mereka di hari senja. Apa iya kita sebagai istri akan tega memaksa tinggal terpisah dari orangtua suami alias mertua kita, demi bisa ada di kondisi ideal di atas? Apa kabar hati nurani?

Baca juga: WHAT, Tinggal Sama Mertua??!!

Sedangkan di sisi lain, tinggal bersama mertua merupakan momok yang menghantui banyak orang. Pasti sudah banyak yang tau atau pernah mendengar cerita tentang banyaknya kisah lika-liku tinggal bersama mertua. Sebagian kisah yang pernah saya dengar rasanya seperti menggambarkan bahwa mereka yang tinggal bersama mertua susah sekali bahagia. Padahal kebahagiaan itu hak semua orang. Apa iya hak berbahagia jadi gak bisa kita dapatkan saat tinggal bersama mertua? Harusnya tidak ya!

Dulu saya sempat berpikir begitu sih. Parno setengah mati saat tau bahwa setelah menikah kemungkinan besar saya harus tinggal dengan mertua. Merasa saya akan sulit bahagia. Tapi, dari hasil sharing dengan teman, membaca dan pengalaman pribadi #cieh, saya akhirnya menyimpulakn beberapa point agar kita tetap bahagia meski tinggal dengan mertua. Apa aja pointnya? Yuk, simak!

Luruskan Niat

Yang muslim pasti tau, bahwa surganya perempuan yang sudah menikah itu ada pada suami kita. Sedangkan surganya suami kita tetap berada pada ibunya -- yang berarti mertua kita. Maka dari itu, salah satu kewajiban seorang istri adalah mendukung dan membantu suami untuk meraih ridho ibunya dengan berbakti.

Nah, karna setelah menikah kita dan suami merupakan satu paket tak terpisahkan, maka saat kita berbakti pada mertua sama saja dengan membantu suami berbakti pada orangtuanya. Iya, kan? Maka, saat harus tinggal bersama mertua niatkanlah untuk membantu suami berbakti pada orangtuanya. Yakinlah bahwa keputusan tinggal bersama mertua tersebut merupakan ladang amal bagi kita. Anggap mertua seperti orangtua kita sendiri, agar gak ada perasaan terpaksa.

Tetaplah Jadi Diri Sendiri

Ini penting sekali! Jangan pernah coba-coba menjelma jadi orang lain karna tinggal bersama mertua. Biasanya hal ini terjadi saat masa-masa awal karna masih merasa harus jaim alias jaga image. Kalau kita terus-menerus jaim, hanya perasaan gak nyaman yang akan kita dapatkan.

Di rumah, saya gak pernah ngepel. Saya cerita terus terang pada ibu mertua tentang ini. Wallahu a'lam penilaian beliau bagaimana. Tapi saat memang ada waktu dan lantai memang butuh dipel, saya gak segan mencoba mengepel (meskipun kikuk karna gak terbiasa). Yang jelas, saya ngepel karna saya memang mau dan ingin. Bukan karna agar dipandang mertua begini dan begitu.

Berusaha menjadi lebih baik itu harus, tapi jangan sampai membuat kita gak menjadi diri sendiri. Berusahalah melakukan yang terbaik, tanpa menjelma jadi orang lain. 

Gak Perlu Semua Hal Dimasukkan ke Hati

Sebenarnya ini gak hanya berlaku bagi kita yang tinggal bersama mertua, ya. Hidup kita akan sangat gak tenang jika semua-mua kita masukkan ke hati. Mari belajar untuk menyaring mana yang perlu masuk ke hati, mana yang gak perlu. Karna memasukkan semua ke hati hanya akan membuat hidup kita tersiksa dan gak bahagia.

Apalagi dalam hubungan berkeluarga -- termasuk dalam hubungan dengan mertua. Mertua adalah seseorang yang belum terlalu kita kenal. Belum terlalu tau seluk-beluk diri kita, pun sebaliknya. Apalagi rentang umur yang jauh, pasti berimbas pada berbagai perbedaan cara berpikir, cara menanggapi sesuatu, dll. Jadi jika sekali waktu ada perbedaan pendapat atau gesekan, itu wajar sekali. Jangankan sama mertua, sama orangtua kandung sendiri pun kita sering bergesekan, kan? Maka...

Baca Juga: Tips Membangun Hubungan Baik Dengan Mertua

Jangan Mendramatisir

Yup... Maka, jangan mendramatisir saat terjadi permasalahan. Karna itu akan membuat masalah kecil jadi besar, percikan kecil jadi bara. Kalau suatu waktu terjadi sedikit beda pendapat, misalnya. Setelah saling mengungkapkan pendapat ya sudah, jangan didramatisir dengan cara update status di facebook lah, curhat ke sana-sini lah. Yakin, kita gak akan mendapatkan solusi, malah akan membuat semua semakin menjadi-jadi. Beda pendapat dengan siapapun itu sangat-sangat lumrah, kan? Atau saat ibu mertua mengkritik masakan kita. Jangan didramatisir dengan menganggap ibu mertua gak suka sama kita, cerewet, jahat,  kejam, tega, dan lain sebagainya. Cukup sadari saja bahwa lidah orang itu beda-beda. Selesai.

Lebih Baik Diam dan Mengalah

Diam lebih baik daripada emas. Mengalah itu bukan berarti kalah. Saat terjadi perbedaan pendapat dengan mertua, gak ada salahnya bagi kita sebagai menantu (anak) diam dan mengalah. Diam dan mengalah bukan berarti harus menyetujui pendapat beliau kok. Hanya saja jauh lebih baik bagi kita untuk menghindarkan diri dari debat. Bagaimanapun, mertua seringkali punya sisi egoisme sebagai orangtua yang kurang suka didebat pendapatnya. Ini lagi-lagi bukan gak hanya ada pada mertua sih menurut saya, orangtua kita sendiri pun kadang begini, kan?

Yang jelas, gak peduli apakah kita tinggal bersama mertua, tinggal di kontrakan atau langsung di rumah pribadi setelah menikah, kita semua tetap punya hak yang sama untuk bahagia. Dan yang paling menentukan hal itu adalah cara kita menyikapi keadaan dan mengelola hati. Gak usah kecil hati saat kita harus tinggal bersama mertua. Bisa jadi hal itu akan mendewasakan kita agar menjadi lebih tangguh menghadapi berbagai macam lika-liku berumah-tangga. Jadi, yuk bahagia! :)

Kamis, 06 Oktober 2016

Yang Harus Dilakukan Suami Saat Istri Sedang Hamil


Sedih sekali beberapa hari ini melihat banyak berita tentang seorang ibu yang memutilasi anaknya sendiri. Prihatin, miris, ngilu. Tapi selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Salah satu hikmah dari viralnya kejadian tersebut menurut saya adalah jadi banyaknya informasi tentang baby blues syndrome dan post partum depression yang turut viral. Dua hal yang konon sering menjadi ujung tombak kejadian-kejadian tragis semacam kejadian kemarin itu. Semoga dengan banyaknya informasi tentang baby blues syndrome dan post partum depression (yang katanya belum terlalu mendapat perhatian di Indonesia) tersebut, kita bisa makin peduli pada orang di sekitar kita, terutama diri kita sendiri sebagai wanita yang punya fitrah hamil dan melahirkan.

Dari beberapa informasi tentang baby blues syndrome dan post partum depression, salah satu point penting yang harus ada sebagai pencegah agar seorang wanita tidak terserang dua hal tersebut adalah adanya dukungan dan kepedulian dari orang terdekat. Dan orang terdekat yang paling berpengaruh menurut saya adalah suami. Seandainya pun ada orangtua yang memberi dukungan sepenuh hati untuk kita, sedangkan suami tidak, bukankah tetap sakit rasanya?

Nah, menurut saya pribadi, dukungan dan kepedulian dari orang terdekat -- terutama suami -- seharusnya sudah ditunjukkan tidak hanya saat si istri sudah melahirkan, melainkan sejak ia masih dalam keadaan hamil. Kita semua pasti tau, hamil merupakan fase yang juga membutuhkan perjuangan tersendiri bagi seorang wanita. Apalagi jika itu merupakan kehamilan pertama baginya. Jika kondisi psikologis sejak masa kehamilan sudah rapuh, pastinya akan membuka peluang yang jauh lebih lebar bagi baby blues syndrome dan post partum depression melanda. Sebaliknya, jika semenjak kehamilan sang istri telah merasa terayomi dan mendapat cukup dukungan, Insya Allah ia pasti akan lebih tangguh melewati fase sulit di masa awal menjadi ibu.

Nah, bagi para suami, apa saja yang harus dilakukan saat istri sedang hamil sebagai bentuk dukungan? Beberapa point di bawah ini mungkin bisa jadi pilihannya :)

1. Menemaninya Periksa Kehamilan

Ini wajib sekali menurut saya. Bikinnya bareng masa periksanya gak bareng? Hehe. Memangnya ada suami yang tidak bersedia menemani istrinya periksa kehamilan? Ada sekali, Bun :(

Wanita hamil, apalagi hamil pertama biasanya kondisi batinnya labil. Banyak sekali hal yang ia khawatirkan. Contohnya saya yang beberapa kali periksa masih saja merasa grogi berlebihan. Nah, kehadiran suami sebagai sook yang lebih teguh kondisi batinnya pasti akan sangat membantu sang itri mengatasi berbagai keresahannya saat periksa kehamilan.

Baca juga: Periksa Kehamilan Ketiga

Maka bagi para suami, ayo kesampingkan segala kepentinganmu demi bisa selalu mendampingi sang istri periksa kehamilan. yang ia kandung adalah juga darah dagingmu, kan? :)

2. Membantu Pekerjaan Rumah Tangga

Selain kondisi psikologis yang labil, kondisi fiik wanita hamil pun cenderung lebih lemah dari biasanya. Memang ada yang tetap segar bugar seperti biasanya, tapi sepertinya lebih banyak yang lebih lemah. Wajar saja, sebagian nutrisi yang terserap ke dalam tubuhnya harus dibagi dua dengan si janin. hal itu akan membuat seorang wanita yang sedang hamil merasa mudah lelah dan lesu. Apalagi saat trimester awal, yang biasanya terus dihantui dengan morning sickness.

Di saat seperti itu, tidak bijak sekali rasanya jika para suami tetap membebankan segala pekerjaan rumah tangga pada sang istri. Sudah bukan jamannya menganggap mencuci, menyapu, mengepel, dll adalah sepenuhnya tugas istri. Iya, kan? Beda cerita kalau ada pembantu di rumah tentunya :)

Saat istri sedang hamil dan kondisi badannya tengah lemah, betapa bahagia jika ia melihat sang suami bersedia mengambil alih sebagian tugas sehari-harinya selama ini. Mencuci piring atau menyetrika baju, misalnya. Itu akan menjadi salah satu bentuk dukungan yang sangat melegakan bagi sang istri.

3. Mendengar Keluh-kesahnya

Konon, wanita hamil terutama di trimester pertama, jauh lebih sensitif perasaanya. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan beberapa kadar hormon dalam tubuhnya. Maka, wahai para suami... jika tiba-tiba istrimu yang sedang hamil merengek dan berkeluh-kesah tentang hal-hal yang menurutmu sepele, tolonglah jangan langsung di cut paksa. Dengarkan ia.

Kata Salim A Fillah, salah satu keahlian yang harus dimiliki oleh seorang lelaki ketika hendak menikah adalah keahlian mendengarkan. Yup, wanita itu gak ribet banget kok sebenarnya, asalkan tau bagaimana caranya menghadapi mereka :) Saat mereka berkeluh-kesah tentang suatu hal, dengarkan saja dengan tekun. Tunjukkan bahwa kalian para suami mengerti apa yang ia rasakan. Maka percayalah, sebagian besar beban hati yang semula membuatnya merasa sumpek akan terangkat seketika.

Tidak masalah jika adakalanya kalian tidak setuju dengan apa yang istri kalian ungkapkan. mengerti bukan berarti harus setuju. Hanya saja, tahanlah dulu. Beri pengertian pelan-pelan jika memang yang ia ungkapkan salah.

4. Memijit dan Membelainya

Sesekali, atau jauh lebih baik setiap hari, luangkanlah waktu beberapa menit untuk memijit kakinya dan pundaknya, lalu membelai kepalanya dengan lembut. Ucapkanlah kalimat penyemangat, bahwa ia harus selalu kuat dan semangat demi buah hati kalian yang ada dalam kandungan. Ah, sungguh... itu akan menjadi penguat jiwa yang amat sangat signifikan bagi para istri.

Kata dokter kandungan, wanita hamil itu beban fisiknya dua kali lipat. Maka memijit, meski hanya pijitan-pijitan pelan nan tulus, pasti akan membuat kelelahannya serasa menguap.

Sudahkah kalian para suami melakukan beberapa point di atas saat istri kalian sedang hamil? Kalau sudah, Alhamdulillah. Kalau belum, yuk mulai dari sekarang.

Istri kalian adalah orang yang akan menjadi ibu bagi anak-anak kalian. Seseorang yang perannya luar biasa besar bagi pertumbuhan jiwa-raganya. Maka, jangan biarkan jiwanya kosong dan rapuh hanya karna kalian para suami lalai melakukan apa yang harusnya dilakukan untuk membuatnya merasa tidak pernah sendiri.

Selain empat point di atas, pasti masih banyak contoh perbuatan lain yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami saat istrinya sedang hamil. Share di kolom komentar yuk, agar para suami punya lebih banyak lagi referensi :)

Senin, 03 Oktober 2016

Catatan Kehamilan: Periksa Ketiga [14w] dan Pertanyaan Seputar Kehamilan

Hai Nak, ini Ibu :)

Saya periksa kehamilan ketiga pada tanggal 6 September 2016. Telat banget ya nulis ceritanya. Hihi. Bahkan minggu ini Insya Allah sudah jadwalnya periksa yang keempat. Tapi gak apa-apa, lebih baik telat daripada tidak sama sekali, kan? *alibi

Periksa yang ketiga ini saya kembali ke dokter saat pertama kali periksa dulu, yaitu dokter Retno di RSIA Kusuma Pradja Semarang. Setelah di periksa yang kedua sempat pindah dokter karna dr. Retno sedang cuti. Sempat tergoda buat coba periksa ke dokter lain lagi yang direkomendasikan oleh teman sih. Tapi setelah saya dan suami pertimbangkan ulang, sudahlah Bismillah mantap di dr. Retno saja.

Setelah dua kali periksa sebelumnya saya selalu speechless dan grogi, periksa yang kali ini saya udah mulai bisa fokus sama apa yang sebelumnya saya rencanakan untuk dikonsultasikan ke dokter. Selain karna sudah yang ketiga kalinya, kondisi badan saya juga mengharuskan saya untuk banyak bertanya. Setelah periksa pertama dan kedua yang cenderung minim keluhan karna memang saya merasa sangat baik-baik saja, di periksa ketiga ini saya mulai punya beberapa keluhan dan pertanyaan yang menggelitik.

Tentang Pentingnya Tes Lab

Setelah membaca beberapa artikel tentang kehamilan, banyak yang menghimbau agar ibu hamil gak lupa melakukan tes lab darah dan urine. Ini penting banget untuk mengetahui kondisi si ibu dan janin. Nah, makanya kemarin saya tanya tentang kapan saya akan diinstruksi untuk tes lab. Ehh, Dokter Retnonya nyengir. "Lha ini, baru aja mau saya bikinin surat pengantar labnya", kata beliau. Hoalaaahh. Haha.

Ohya, saya juga tanya soal tes TORCH. Kan katanya penting banget, ya. Walaupun katanya tes ini sebaiknya dilakukan sebelum nikah, atau sebelum hamil, biar taunya gak telat kalo ternyata ada apa-apa. Lumayan nyesel sih kenapa dulu lebih sayang duitnya. Kata Dokter Retno, ya memang penting sih. Tapi berhubung biayanya lumayan mahal (kalau lengkap bisa sampai 2-jutaan lebih), Dokter Retno gak berani merekomendasikan, kecuali jika ada indikasi yang arahnya harus ke sana. Setelah diskusi sama suami, akhirnya saya tanya ke Dokter Retno, kalau misalanya saya pengen tes TORCH tapi gak lengkap (diambil item-item yang penting aja) bisa gak ya? Lagi-lagi masalah dana sih, jujur :) Dokter Retno bilang, bisa, dan gak masalah. Jadi beliau merekomendasikan saya untuk ambil tiga item saja yang menurut beliau paling penting. Ohya, saya kepikiran buat tes TORCH karna di rumah saya sering banget punya peliharaan kucing dan ayam. Semoga sih saya baik-baik saja, ya :)

Kok Kakiku Udah Mulai Bengkak?

Hiks, iya... ini agak terasa mengganggu dan kepikiran. Setahu saya biasanya ibu hamil yang kakinya bengkak itu biasanya kalau usia kehamilan sudah tua gitu. Lha ini saya baru 14 minggu kok sudah bengkak? Ditambah ketakutan setelah browsing, bahwa bengkak adalah salah satu tanda pre eklamsia dan eklamsia. Huhu.

Dokter Retno bilang, gak usah terlalu khawatir dulu, nanti malah stress. Bisa aja karna kurang gerak/terlalu banyak duduk. Iya sih, di kantor saya duduk terus. Terus dihimbau agar saat tidur, kakinya diganjal bantal biar agak tinggi. Pre eklamsia atau eklamsia itu ketika kaki bengkak disertai dengan tingginya kandungan protein dalam urine. Nah, berarti kan nunggu tes lab biar tau. Lagi-lagi, semoga saya baik-baik saja. Aamiin.

Keputihan, Bahaya Gak Sih?

Iya, semenjak hamil, saya tuh malah keputihan. Dan warananya putih gitu. Dulu sebelum hamil keputihan paling sebelum atau sesudah menstruasi, dan itupun warnanya bening. Saya was-was, karna ada seorang teman yang hamil tua dan bayinya meninggal dalam kandungan, dan ternyata sebabnya adalah karna keputihan yang parah. Huhu, takut, Naudzubillah.

Setelah saya menyampaikan keresahan saya, Dokter Retno bilang, ditunggu sampai jadwal periksa berikutnya. Kalau ternyata tetap ada, maka baru akan diberi obat. Obatnya juga katanya bukan diminum, tapi dengan cara oral (dimasukkan ke ms. V). Kalau keputihan yang muncul sebelum usia kehamilan empat bulan, biasanya itu karena pengaruh perubahan hormon.

Dari seluruh rangkaian periksa, yang selalu bikin amazing, grogi sekaligus bikin gak sabar nungguin jadwal periksa selanjutnya adalah USG. Pokoknya berbagai perasaan campur baur deh. Pada periksa yang ketiga kemarin apalagi, si jabang bayi sudah kelihatan dua kakinya, dua tangannya, kepalanya. Sudah mulai gerak-gerak tangannya. Masya Allah, Allahu Akbar. Antara gemes, pengen nangis dan pengen segera peluk dia. Sehat selalu yaa Nak, tumbuhlah dengan sempurna di perut ibu. Kita berjuang bareng, ya.

Doakan saya dan si jabang bayi sehat selalu yaa teman-teman :)

Kamis, 22 September 2016

Catatan Kehamilan: Surat Untuk Anakku

pixabay.com

Assalamu'alaikum, Nak...

Apa kabarmu di alam rahim? Semoga rahim ibu cukup kondusif sebagai tempat bertumbuhmu, ya. Tumbuhlah dengan sempurna di rahim Ibu. Di sini, ibu akan berusaha semampu ibu untuk selalu memenuhi apa-apa yang kamu butuhkan selama proses tumbuhmu. Gak cuma selama kamu ada di rahim Ibu, Insya Allah, melainkan hingga nanti ketika kita sudah bisa berkumpul di alam dunia yang sudah menua ini. Semoga ALlah mengijinkan. Semoga Allah menganugerahi ibu, umurmu dan umur ayahmu dengan umur yang barokah.

Minggu lalu, Nak, ketika ibu memeriksakan diri ke bidan, Ibu diperdengarkan bunyi detak jantungmu. Masya Allah... kamu pasti tau betapa bahagianya ibu. Betapa ibu benar-benar merasa jatuh cinta bahkan sebelum bertemu denganmu. Sehat terus ya anak ibu.

Oh ya, beberapa minggu lalu ayah dan ibu mengikuti kajian yang temanya tentang akhir jaman. Dan kamu tau, Nak, ibu takut sekali. Ibu takut karna ibu tau, bahwa kamu akan menjadi bagian dari generasi akhir jaman. Ibu takut, karna hidup di akhir jaman ini sungguh tidak mudah, Nak. Penuh godaan yang mengoyak-oyak benteng keimanan kita. Dan jika iman kita tak seberapa kuat, pastilah dengan amat mudah kita dirobohkan. Maka, dibutuhkan pondasi iman yang beberapa kali lipat lebih tangguh, Nak, untuk bisa hidup di akhir jaman agar bisa tetap berdiri di atas kebenaran. Dan sekali lagi, ibu takut... mampukah ibu membuat pondasi keimananmu kelak kokoh tak tergoyahkan? Karna ibulah yang akan menjadi peletak batu pertamanya. Ibu takut sekali. Tapi ibu tau, ibu tak boleh hanya fokus pada ketakutan itu. Yang jauh lebih penting sekarang adalah mempesiapkan diri untuk menjadi madrasah buat kamu. Dan usaha pertama yang ibu lakukan adalah: berdoa. Iya, berdoa. Karna doa adalah sebaik-baik senjatanya orang beriman, Nak. Ingat itu, ya. Ah, meski mungkin doa yang ibu langitkan, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan doa-doa yang Mbah Putrimu langitkan. Mbah putrimu itu Nak, wanita luar biasa kuat karena doa. Kalau bukan karena doa, entah sudah seberapa hancur ia hari ini. Nanti ya, beberapa bulan lagi Insya Allah ibu kenalkan sama Mbah Putri. Kamu pasti akan langsung tau seberapa besar kekuatan cintanya buat kita hanya dengan melalui sentuhan tangannya.

pixabay.com

Ah, kok tiba-tiba sampai Mbah Putri. Hehe, mungkin karna sejujurnya hati ibu sedang gerimis hari ini. Hari ini, usia kamu empat bulan di perut ibu, Nak. Katanya, pada usia ini Allah menipukan ruh padamu. Maka, Mbah Putrimu di Jepara sana bikin acara selamatan empat bulanan. Beliau dan para tetangga akan bantu ibu untuk doain kamu. Semoga Allah meniupkan ruh dengan iman dan akhlak yang lurus padamu, memberimu umur panjang yang berkah, kesehatan, serta kesempurnaan lahir-batin, jasmani-rohani. Aamiin. Tapi maaf ya nak, ayah dan ibu gak bisa ajak kamu pulang ke rumah Mbah Putri yang sedang membuat acara buat kamu. Bukan ibu gak mau, tapi ibu sedang tidak mampu. Lain waktu ya, Nak... ayo, kuatin ibu.

Satu lagi, Nak... ibu mau bilang, terima kasih, ya. Terima kasih karna kamu udah baiikkkk sekali sama ibu sejak di dalam kandungan. Sejak awal kamu ada, gak sekalipun ibu merasakan mual atau susah makan. kalaupun ada keluhan satu-dua, gak jadi masalah, Nak, buat ibu. Ibu kuat, Insya Allah, asalkan kamu tetep sehat. Maafkan, karna mungkin justru ibu yang sering gak baik sama kamu. Ibu cengeng, kamu pasti tau, ya. Dan tiap ibu nangis, kamu pasti merasa gak nyaman ya di dalam. Maafkan ibu ya, Nak. Nanti kamu jangan kayak ibu. jadilah anak yang kuat, dan menguatkan ibu. Jadilah alasan buat ayah dan ibu untuk selalu merasa bahagia dan bersyukur.

Perjalanan kita baru (atau sudah?) empat bulan, Nak. Masih ada beberapa bulan lagi yang tersisa sebelum akhirnya kita bisa bertemu. Kita berjuang bareng-bareng ya, Nak. Kita harus sama-sama sehat. Ayahmu juga selalu dukung kita dengan berbagai macam usaha dan pengorbanannya, demi kita berdua selalu sehat. Jadi, yuk, janji ya sama Ibu, kita harus berjuang bareng, sehat bareng. Semoga Allah ridho ya, Nak. Tumbuhlah dengan sehat dan sempurna di perut Ibu.

Sampai sini dulu ya, Nak. Sebentar lagi Ashar. Kapan-kapan Insya Allah ibu tulisan surat lagi buat kamu :')

Sun sayang dari Ibu yang jatuh cinta bahkan sebelum bertemu kamu.

Kamis, 15 September 2016

Doa Malam Pertama Bagi Pengantin Baru

Wuiihhh, judulnyaaa... Ahahaha.

Mau nulis ini maju-mundur sebenarnya. Tapi Bismillah, saya niatkan berbagi ilmu. Karna toh saya tau tentang ini awalnya juga karna ada orang lain yang berbaik hati membagi ilmunya. Kesannya mungkin gimanaaa gitu ya gara-gara ada kata-kata 'malam pertama'-nya. Tapi Insya Allah yang baca blog ini sudah dewasa, dan ini bukan hal tabu lagi. Misal ternyata ada pembaca yang belum dewasa, gak ada salahnya. Ini ilmu Nak, rekam dan aplikasikanlah jika sudah saatnya kelak. #soktua

Malam pertama adalah salah satu moment paling mendebarkan bagi penganti baru setelah akad nikah. Ya gimana enggak berdebar?! Ada di satu kamar sama laki-laki yang belum lama kita kenal, yang saat itu sudah berhak atas diri kita seutuhnya. Bayangin coba! Hihi. Ya kecuali kalo udah pacaran lama, terus udah sering sentuh sana sentuh sini, ya. Gak tau deh apa mereka masih bisa merasakan 'keistimewaan' malam pertama atau enggak.

Malam Pertama itu ada ilmunya

Nah, yang gak boleh kita lupa, malam pertama itu ternyata ada ilmunya. Gak asal srudak-sruduk kayak kebo. Haha. Biar apa? Lah, kan kita berharap rumah tangga kita barakah kan? Kita berharap menghasilkan keturunan yang sholih-sholihah dari interaksi kita dengan pasangan kan? Salah satu ikhtiar untuk mewujudkan hal itu ya salah satunya dengan mengawali interaksi kita bersama pasangan dengan doa.

Ada dua teks doa yang menurut saya bisa disebut sebagai doa malam pertama. FYI, doa malam pertama itu hanya istilah sih sebenarnya. Pada kenyataanya doa ini gak harus dibaca saat malam. Kapan dibutuhkannya aja. Pada kasus saya, dua-duanya gak dibaca saat malam. Haha.

Terus gimana doanya?

Seperti yang saya bilang di atas, saya akan membagi dua doa yang tentunya saya ambil dari sumber yang terpercaya. Jadi bukan doa karangan saya, ya.

Yang pertama
Doa yang pertama adalah doa pengantin laki-laki (suami) pada pengantin perempuan (istri) sesaat setelah akad nikah, atau saat pertama kali mereka bertemu setelah dinyatakan sah sebagai suami-istri.

Lafalnya:
saya ambil dr tabirjodoh.worpress.com. Tapi tau doa ini pertama bukan dr web ini.
 Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepadaMu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepadaMu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya”.
Dulu Mas Suami baca ini tepat setelah akad nikah. Tapi kan rame banget ya, terus direcokin mas potograper segala, jadi kurang khusyuk gitu. Akhirnya, si Mas ngulang baca doa ini lagi setelah acara resepsi usai, waktu kita udah di kamar berdua aja. Uhuy! Hehe. Sore-sore, bukan malam. Jadi doa sore pertama dong, bukan malam pertama =D Ohya, baca doa ini sambil pegang ubun-ubun istri, ya.

Yang kedua

Naaahh, ini niihhh. Hihi. Doa ini dibaca saat akan 'malam pertama', meskipun sekali lagi, prakteknya gak harus malam =P Iya, jadi doa yang kedua ini merupakan doa yang dibaca saat akan menunaikan 'ibadah'. Atau biar jelas, sebut saja saat akan jimak. Hehe. Jadi, doa ini gak hanya dibaca saat pertama kali 'ibadah' saja ya, melainkan harus dibaca setiap akan 'ibadah' kapanpun itu.

Berikut lafal doanya:
saya ambil dr. http://doadzikirwirid.blogspot.co.id
Dulu, sampai dua hari menjelang menikah, saya masih belum benar-benar hafal doa ini lho. Kenapa? Soalnya saya malu. Saya masih menganggap hal ini tabu, dan menghafalkan doa ini rasanya saya jadi risih. Hihi, aneh ya saya. Sampai saat hari terakhir masuk kerja sebelum cuti menikah, seorang atasan memberikan secarik kertas kecil pada saya, yang ternyata tertulis lafal doa tersebut. Beliau juga berpesan, harus hafal, gak perlu malu, karna itu memang salah satu hak dan kewajiban dalam pernikahan. Hehe. Dan pada kasus saya, lagi-lagi doa ini gak dibaca benar-benar di malam pertama. Soalnya pas nikah saya masih dalam kondisi kedatangan tamu bulanan hari kedua =D

Sekian dulu ya tulisan tentang doa malam pertama bagi pengantin baru. Semoga bermanfaat, khususnya bagi yang sebentar lagi mau nikah. Kan lagi musim kawin nih kata orang =D Bagi yang belum ada rencana menikah, gak usah galau baca tulisan ini. Gak ada salahnya belajar dulu, Insya Allah bagian dari usaha memantaskan diri =))

Jumat, 09 September 2016

#sanirosastory: Prosesi Adat Tumplak Punjen dan Filosofi di Baliknya

Saat menjelang menikah beberapa bulan lalu itu, sejujurnya saya ingin gak perlu ada prosesi-prosesi adat di dalamnya. Yang simpel-simple saja lah. Tapi apa daya, saat menikah bisa dibilang kita itu hanya 'lakon' yang skenarionya gak mungkin sepenuhnya ditentukan oleh si lakon sendiri. Beberapa anggota keluarga -- terutama Ibuk -- pengen prosesi adat tetap dilakukan, walaupun gak lengkap dan gak saklek. Ibuk sebenernya bukan orang yang masih menjunjung tinggi adat jawa sih. Kayaknya paham filosofi-filosofinya juga enggak. Hehe. Beliau cuma seneng aja nanti album fotonya jadi isinya lebih berwarna oleh beragam pose saat prosesi adat. Ahahaha. Tapi prosesi adat di pernikahan saya juga seadanya sih. Dari mulai rangkaiannya, peralatannya, dan segala macemnya jauh lah dari standar prosesi adat yang baik dan benar sesuai tuntunan. Hihi. Semoga gak dianggap merusak adat, ya :)

Tapi, dari beberapa prosesi adat yang saya jalani di hari pernikahan saya, ada satu prosesi adat yang paling disukai Ibuk, dan menjadi salah satu cita-cita Ibuk sejak lama jika suatu hari saya menikah. Apa itu? Tumplak punjen. Iya, tumplak punjen adalah prosesi adat yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat di wilayah saya. Yang lain-lainnya sih jarang.

Apa itu tumplak punjen? Yang orang Jawa pasti tau ya, atau paling gak punya gambaran. Kalo di benak saya sih tumplak punjen itu nyebar uang receh untuk diperebutkan para tamu yang hadir. Tumplak punjen biasanya diadakan hanya di pernikahan anak bungsu, atau di pernikahan terakhir dalam sebuah keluarga (jika si bungsu menikah lebih dulu dari sang kakak). Mungkin ini yang bikin tumplak punjen jadi istimewa.

Berhubung rumah saya itungannya di desa banget -- yang mana orang desa itu cenderung cuek sama yang namanya pakem, maka tumplak punjen yang sering saya lihat ya sekedar sekeluarga berdiri berurutan dari yang tua ke yang muda, lalu jalan muterin gerabah yang isinya air, lalu tiba-tiba uang disebar dan diperebutkan. Sudah, gitu doang. Nahh, saat pernikahan saya, baru deh dijelasin sama Bapak Pranotocoro urutan-urutan prosesinya -- walaupun saya masih tetep ga tau sih ini sudah bener-bener sesuai pakem apa belum. Hehe.

Kakak saya saat menyampaikan ucapak maaf dan terima kasih pada Bapak-Ibu
Jadi, pertama, kakak laki-laki saya -- mewakili saya dan kakak perempuan, menyampaikan beberapa kalimat. Isinya adalah permintaan maaf pada Bapak dan Ibu atas segala kesalahan kami selama ini, ucapan terima kasih atas segala kebaikan mereka pada kami hingga hari ini, dan permohonan doa agar rumah tangga kami senantiasa diberkahi oleh Allah. Huhu, momen ini lumayan bikin terharu. Tapi nangisnya ditahan lah ya, kan gak lucu kalau bulu matanya lepas. Huahaha.

saat kakak saya sungkem

waktu saya nerima sangu dari Ibuk. Hehe
Kedua, harusnya Bapak menjawab apa yang telah kakak saya sampaikan. Tapi berhubung Bapak saya orangnya merasa gak pede ngomong di depan para tamu undangan, akhirnya di-skip deh. Hihi. Lalu dilanjutkan sungkeman. Diawali oleh kakak tertua saya beserta suami dan anaknya, lalu kakak kedua bersama istri (anaknya lagi tidur), kemudia saya dan Mas Suami. Nah, saat sungkem itu, Ibu memberikan kantongan berwarna putih yang isinya uang. Ceritanya, uang tersebut merupakan 'sangu' terakhir dari Bapak-Ibu untuk modal hidup kami ke depan. Uangnya masih saya simpen sampai sekarang lho. Hehe.

sampai sekarang kita gak tau kenapa ekspresinya pada gak jelas gitu :D

ini waktu jalan muter-muter
Setelah sungkeman, kami lalu berdiri berurutan (yang paling depan Bapak -- yang paling sepuh -- dan paling belakang saya -- bungsu). Lalu salah satu saudara yang kami tuakan memegang pecut, yang konon filosofinya adalah bentuk dukungan atau support dari para sesepuh agar kami bisa sukses. Lalu kami jalan mengitari gerabah berisi air dan bunga setaman yang ditutup dengan tampah (tau tampah gak ya?). Setelah tiga kali putaran, Ibu mengambil gerabah yang kami kitari tersebut, lalu melemparkannya hingga pecah berserakan di depan pelaminan. Filosofinya, kini saatnya kami 'memecah', tidak lagi bersatu di satu rumah melainkan berpencar untuk menjalani kehidupan masing-masing, sedangkan bunga setaman melambangkan harapan Ibu agar hidup kami senantiasa 'wangi' dimanapun berada. Huhu, so sweet ya.

Setelah gerabah dilemparkan oleh Ibu, saudara yang kami anggap sepun lalu menyebarkan uang receh dan beras kuning untuk diperebutkan oleh para tamu undangan. Filosofinya sebagai bentuk syukur atas nikmat yang ingin kami bagi dengan semua sanak-kerabat. Sudah deh, selesai. Hehe.

ini waktu saudara yang dituakan nyebar uang. Yang dituakan belum tua sih :D
 Ternyata di balik proses-prosesi adat itu terkandung nasehat-nasehat luhur kehidupan ya jika kita mau mendalami. Jadi jangan cuma diikuti seolah itu ritual sakral, tanpa tau artinya. Apalagi jika sampai menyusupkan mitos-mitos tertentu yang merusak aqidah. Itu tuh yang gak bener. Contohnya dalam prosesi tumplak punjen. Mitosnya, uang yang kita dapat dari hasil rebutan itu bisa jadi penglaris usaha jika disimpan. Duh duh, ini gak bener banget! Syirik jatuhnya. Saya berlepas diri dari apa yang para tamu saya lakukan dengan uang sebaran saat acara tumplak punjen di pernikahan saya.

Selasa, 23 Agustus 2016

Catatan Kehamilan: Periksa Kedua [9w6d]

Hai, Nak... Ibu nulis tentang kamu di sini :)
Ternyata gini ya rasanya hamil, apalagi hamil pertama kali. Masya Allah, luar biasa sekali. Kalau diibaratkan, seperti orang jatuh cinta menurut saya. Menanti-nanti waktu untuk bisa bertemu dengan yang tercinta, tapi ketika waktunya hampir tiba deg-degan setengah mati. Iya, hamil pertama kali juga seperti itu menurut saya rasanya. Saya selalu menanti-nanti jadwal periksa untuk bisa bertemu dengan si janin melalui layar USG, namun menjelang waktunya tiba saya merasa grogi. Hihi.

Baca: Catatan Kehamilan: Periksa Pertama [5w4d]

Jadwal periksa saya yang kedua seharusnya jatuh pada tanggal 11 Agustus 2016. Tapi berhubung tanggal 11 adalah hari kamis, dan hari kamis itu saya dan mas suami ingin sekali bisa datang ke Kajian Buka Puasa di Wisata Hati, akhirnya kami sepakat memajukan sehari jadwal periksa saya, yaitu pada tanggal 10 Agustus 2016. Pagi-pagi sekali saya telepon ke RSB Kusuma dengan niatan mendaftar, supaya mendapat nomor antrian yang agak awal. Tapi saya harus kecewa, karna ternyata dr. Retno -- yang dulu memeriksa saya pertama kali -- sedang cuti, dan cutinya selama satu bulan. Tentu gak mungkin sekali saya menunda jadwal periksa saya hingga satu bulan. Maka, setelah berbagai pertimbangan dan kegalauan, saya memutuskan untuk periksa di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang bersama dr. Julian.

Sesampainya di kantor, saya telepon ke RSISA, dan Alhamdulillah saya mendapat nomor urut pertama, yang jatuh sekitar Pukul 10.00. Karna saya bekerja di Yayasan yang merupakan induk dr RSISA, dan letaknya gedungnya berdekatan, jadi gak masalah buat saya ijin sebentar ditengah jam kerja. Cuma, dengan amat terpaksa saya harus rela gak ditemani mas suami, karna kami sekantor. Gak enak kalo ijin berdua barengan, nanti dikira kurang profesional :)

Setelah daftar ulang, dan menunggu beberapa saat, saya dipanggil ke ruang pemeriksaan. Anehnya, saya gak ditensi dan gak disuruh nimbang berat badan, langsung disuruh menghadap dokternya, ditanya-tanya pertanyaan standar orang hamil yang baru pertama periksa (di situ) -- semacam tanggal HPHT, dll -- lalu disuruh naik ke bed untuk USG. Saya milih manut saja, gak banyak protes, tapi di hati ngedumel. Meski saya kerja di Yayasan induk dari RSISA, saya harus objektif memaparkan kekurangannya jika memang ada.

Saat di USG, lagi-lagi saya speechless. Janinnya sudah mulai terlihat jelas, beda saat periksa pertama dulu. Saya kehilangan kata-kata. Bahkan tanya berapa ukurannya, bagaimana detak jantungnya, dll saja saya gak bisa. Kehilangan kata-kata. Duh Nak, kamu benar-benar bikin ibu grogi :') Dokternya juga gak inisiatif jelasin -_-, beliau cuma bilang ukurannya sesuai dengan usianya. Alhamdulillah. Tumbuhlah dengan sehat dan sempurna di perut Ibu hingga saatnya nanti kita bertemu ya, Nak :') Ohya, dr. Julian juga bilang janinnya gerak-gerak terus, jadi saat hasil USG-nya di print hasilnya gak bisa maksimal. Lho, janin belum empat bulan tuh gerak-gerak, ya? Kirain gerak-geraknya setelah masuk usia empat bulan.

Satu lagi yang saya gak suka, di ruangan periksa itu ada dua dokter KoAs yang juga mengikuti saat saya di USG, dan salah satunya adalah laki-laki. Aaarrrrgghh. Bodohnya saya, kenapa gak minta beliaunya keluar dulu. Saya juga agak dimarahi mas suami soal ini. Ohya, kalau dr. Juliannya, sebenernya enak sih diajak ngobrol. Ramah. Tapi gatau kenapa kok kurang sreg. Selain dikasih resep, saya juga disuruh test darah ke laboratorium, dan hasilnya disuruh bawa di pemeriksaan bulan berikutnya. Tapi, berhubung bulan berikutnya saya gak berniat periksa di situ lagi, jadi test darahnya saya urungkan dulu. Hehe. Resep juga saya tebus di luar karna antriannya panjaaaaang.
Ohya, selain periksa ke dokter, saya juga periksa ke Bidan dekat rumah orangtua saya di Jepara minggu lalu. Hehe. Kenapa gitu? Karena saya berniat Insya Allah ingin melahirkan di rumah bersalin milik bidan tersebut-- Bidan Indah namanya. Jadi saya ingin Bu Bidan Indah punya catatan rekam medik saya selama hamil. Bagaimana kesannya periksa di bidan? Menyenangkan. Hihi. Kalau periksa di dokter 'keistimewaannya' cuma di USG-nya, kalau di bidan kita diperiksa macem-macem. Lilang lengan, tinggi badan, cek darah, dll. Dinasehatin macem-macem juga. Terus Bu Bidan juga periksa perut saya dengan rabaan, dan beliau bilang janinnya sudah 'kelihatan'. Waktu itu usianya sudah masuk 10 minggu :) Dan yang paling istimewa sih: muraaaah. Hehe. Tapi vitaminnya gak saya minum, karna saya milih minum yang dari dokter aja.

Okesip, segitu dulu cerita tentang periksa kedua kehamilan saya, yang telat banget. Hehe. Semoga bermanfaat :)

Selasa, 02 Agustus 2016

Catatan Kehamilan: Ngidam, Mitos Atau Fakta?


Pertanyaan yang hampir pasti ditanyakan ketika bertemu dengan seseorang yang tahu bahwa saya sedang hamil muda adalah, "Kamu ngidam apa?". Dan saya, pasti akan bingung menjawabnya. Bingung karna saya gak merasakan menginginkan sesuatu dengan teramat sangat -- yang konon merupakan ciri dari orang ngidam. Bingung kenapa hampir semua orang bertanya begitu, dan bingung apakah saya aneh karna hamil dan tidak ngidam?! Iya sih, saya menginginkan sesuatu. Tapi taraf pengennya sama saja seperti dulu-dulu sebelum saya hamil, bahkan sebelum saya menikah. Tiba-tiba kepikiran suatu makanan, pengen, berusaha mewujudkan, kalo dapat Alhamdulillah, enggak ya gak papa. Gak pernah yang tiba-tiba pengen sesuatu tengah malam, terus maksa suami mencarikan saat itu pula. Saya berkali-kali memang pengen mangga muda sih. Tapi bukan karna ngidam, melainkan memang sangat suka dengan mangga muda sejak masih gadis. Kebetulan saja musim mangga mudanya bertepatan dengan saya hamil muda, jadi banyak yang menghubung-hubungkan :D

Jadi, apakah saya aneh karna gak mengalami ngidam seperti wanita hamil kebanyakan? Ngidam itu fakta atau mitos sih sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan itu sempat berputar-putar dalam otak saya.

Kemudian saya googling. Dari beberapa artikel yang saya baca, hampir semua mengatakan bahwa sejauh ini belum ada penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa ngidam merupakan sebuah fakta yang dialami oleh para ibu hamil. Ngidam itu biasanya gak lebih dari sebuah sugesti saja. Apalagi jika ketika hamil muda seseorang mengalami mual-mual hebat dan gak doyan makan, biasanya orang tersebut akan tersugesti untuk membayangkan makanan-makanan tertentu yang menurut bayangannya terasa enak -- meskipun saat sudah tersedia ternyata gak senikmat yang dibayangkan. Belum lagi tentang mitos jika ngidam tidak dituruti, maka si bayi kelak akan 'ngiler' alias terus-teruan mengeluarkan ludah. Sugesti dan mitos inilah yang akhirnya saling bersinergi membuat ngidam menjadi sesuatu yang seolah-olah penting sekali dan harus dituruti. Ini analisis pribadi saya saja sih. Hehe. Jika ada yang punya pendapat lain, dengan senang hati saya tunggu share-nya di kolom komentar, yah :)

Meski saya mengaku gak ngidam, tapi saya sering kok menginginkan sesuatu. Tapi apakah selalu saya tururti atau minta orang lain -- terutama suami -- untuk menuruti? Enggak! Saya berusaha pilih-pilih, mana keinginan yang boleh saya turuti, mana yang harus saya tahan. Sejak dulu, saya bertekad jika saatnya Allah mengijinkan saya hamil, saya gak pengen merepotkan orang lain -- terutama suami -- dengan keinginan-keinginan yang sekiranya gak memungkinkan untuk dituruti. Apalagi sampai menggunakan embel-embel "ini dedek bayi yang pengen", BIG NO buat saya. Saya gak pengen mengkambinghitamkan janin yang belum tau apa-apa demi kepentingan nafsu saya pribadi.

Jadi, saat menginginkan sesuatu, saya akan melihat beberapa faktor apakah keinginan tersebut boleh saya turuti atau gak perlu. Pertama, apakah sesuatu yang saya inginkan merupakan sesuatu yang mudah didapatkan? Kalau sekiranya susah, Insya Allah saya gak keberatan jika apa yang saya inginkan gak kesampaian. Kedua, meskipun keinginan saya mudah untuk dituruti, saya masih akan melihat satu hal lagi, yaitu kemanfaatannya. Saya harus sadar, dalam tubuh saya sedang ada sesosok jiwa lain yang tengah tumbuh, dan  ia masih lemah. Saya gak mau egois, memasukkan hal-hal yang sekiranya akan mengganggu dia atau gak bermanfaat buat dia. Jadi, kalo saya menginginkan -- misalnya -- buah-buahan, saya dan suami gak akan berpikir panjang untuk segera menuruti keinginan saya, karna kami tau Insya Allah buah bermanfaat buat si janin. Tapi jika yang saya inginkan adalah mie instan -- misalnya lagi -- saya akan sekuat tenaga melawan keinginan saya sendiri.

Apakah saya gak takut anak saya kelak akan 'ngiler'? Enggak, saya gak takut, karna saya gak percaya. Saya percaya bahwa Tuhan saya sesuai dengan apa yang saya persangkakan, jadi saya memilih berprasangka baik saja pada ketentuan-Nya. Lagipula, bukankah konon pendidikan anak itu dimulai sejak ia masih dalam kandungan? Jika sejak ia dalam kandungan ibunya gak belajar mengendalikan keinginan, takutnya ia juga belajar dan menyerap tentang hal itu :)

Ada satu hal lagi yang menguatkan tekad saya untuk gak selalu menuruti keinginan saat hamil dengan dalih ngidam. Yaitu sebuah tausiyah dari seorang guru saat bulan Ramadhan lalu, di sebuah majelis tarawih bersama. Saat itu saya belum tau bahwa saya hamil. Beliau menasehatkan agar kita banyak berdoa agar dikaruniai anak yang tidak merepotkan, salah satunya dengan ngidam macam-macam dan tidak masuk akal. "Tidak ada satu riwayat pun yang mengatakan bahwa ibunda para Nabi, Rasul dan para sahabat mengalami ngidam saat hamil. Maka, sebagai umatnya, seharusnya kita mewarisi hal itu. Jika kita ingin anak kita hebat sepert para Nabi dan sahabat, janganlah menjadikan mereka alasan untuk hawa nafsu kita", ucap beliau.

Sekian sharing dari Mom Wannabe sok tau. Perbedaan pendapat itu wajar, ya, teman... yuk, share pendapat kalian :)