Kamis, 25 April 2019

Inkonsistensi Dalam Mendidik Anak

Nasehat paling efektif, adalah nasehat yang disertai contoh nyata.

Iya apa iya?



Masalahnya, kita-kita para orangtua ini, seringkali hanya sibuk beretorika di hadapan anak, tapi sering lupa memberi teladan. Contoh paling simpel deh, kalo kitanya lagi ribet banget, terus anak rewel, kadang kita bilang, "Adek sabar dong!" -- tapi dengan nada nge-gas maksimal 😂

Lha gimana, jangan heran kalo kemudian anak kita nangkepnya sabar itu ya dengan nge-gas kayak emaknya 😅

Rumit beneran deh jadi orangtua tuh. Ahihihi.


Jujur aja saya sering merasa jadi orang yang paling inkonsisten sejak jadi orangtua. Malu sama diri sendiri 🙈

Dan, eh kok kebetulan Mbak Puty dan Mamamolilo ngajak nulis tentang inkonsistensi dalam mendidik anak lewat project #Modyarhood nya mereka. Karna topiknya menarik, cuss deh nulis ngebut meski udah hari terakhir deadline. Hihi. Seniat ituh!

Jadiii, berikut ini adalah daftar inkonsistensi saya dalam mendidik Faza. Sukses beneran deh bikin saya merenung gara-gara mau nulis ini. Muhasabah gitu loh mak ceritanya 😂

1. Membiasakan Berdoa

Sebagai orangtua yang ingin anaknya jadi anak sholih, tentu saja saya sudah membiasakan Faza berdoa di segala aktivitas.

Mau nenen, doa dulu. Mau makan, doa dulu. Mau pergi, doa dulu. Mau tidur, doa. Naik kendaraan doa dulu. Keluar masuk kamar mandi, tidak lupa berdoa juga. Dan lain lain, dan sebagainya.

Tapiii, kadang (atau malah sering 😭) pas gak lagi sama Faza, sayanya sendiri malah lupa berdoa. Makan, kadang langsung lhep. Baru inget di suapan ke dua -___-. Masuk kamar mandi, asal masuk. Sampai dalem baru inget.

Pernah nih pas kami mau pergi, sudah di mobil, saya-nya asyik buka chatt WA. Eh ditegur sama Faza. "Ibuuukk, doa!" katanya. Huaaaa, maluuuuu maksimal 😂


2. Rajin Baca Buku

Orangtua milenial mana yang gak hobi beliin anaknya buku demi cita-cita agar si anak jadi generasi yang rajin baca buku?

Otentu saja saya gak mau ketinggalan 😀

Demi beliin Faza buku, saya rela gak gak beli novel lagi. Pinjem temen dan langganan Gramedia Digital menjadi pilihan.

Tapi -- sekali lagi -- anak butuh contoh nyata. Teladan. Lha masalahnya, kalo saya sekarang jadi lebih sering baca buku digital pake gadget, ya mana tau Faza kalo ibu sedang baca buku. Di mata dia, ibu mainan HP terus kan. Inkonsisten -___-.

Dan lagi, pengen anak rajin baca buku gak akan cukup hanya dengan beliin dia buku tiap bulan. Sayanya harus banget dampingi dia, membacakan buku-buku itu untuk dia.

Masalahnyaaa, kadang kalo dia minta dibacain buku tuh sering gak mau udahan. Lagi, lagi dan lagi. Sayanya sampai bosan dan kehabisan kalimat untuk mendeskripsikan gambar yang itu-itu aja 😂

Akhirnya? Ya saya paksa udahan lah. Gimana sih ya, katanya pengen punya anak rajin baca buku, giliran anaknya masih ngotot pengen baca, malah dipaksa udahan. Lagi-lagi, inkonsisten 🙈

3. Tentang "Tidak Perlu Takut"

Saya itu penakut. Takut cicak. Takut ular (meski hanya gambar). Takut tikus. Takut kecoa. Dll.

Tapi ya saya gak pengen dong Faza jadi anak penakut. Apalagi dia cowok.

Jadi saya sering sok-sokan bilang, "tidak perlu takut, nak, kan dia gak ganggu, bla bla bla"

Masalahnya, saya ini tipe yang kalo takut pasti teriak heboh. Pernah nih, saya habis nasehatin Faza tidak perlu takut sama kecoa, eh habis itu pas saya nyuci piring, tiba-tiba ada kecoa. Saya reflek teriak histeris.

Faza melongo dong. Kalo bisa, mungkin dia akan bilang, "Katanya tidak perlu takut? Ibu gimana sih!"

😂😂😂

Sudahlah, akhiri saja sampai di sini. Kalo daftar ini saya teruskan, niscaya akan jadi sepanjang jalan kenangan. Ahahaha.

Beneran deh, nulis ini tu bikin perasaan saya gado-gado. Ada geli, sedih, miris dan malu. Huhu.

Yah, kita mungkin memang gak akan bisa jadi orangtua sempurna kok. Karna kesempurnaan memang bukan buat manusia. Tapi setidaknya, kita bisa menjadi orangtua yang gak malu mengakui kekurangan kita sebagai orangtua, dan selalu berusaha menjadi lebih baik setelahnya 😊

Hayooo, berani gak bikin daftar inkonsistensi emak-emak sekalian dalam mendidik anak? 😃

Kamis, 11 April 2019

Menjadi Ibu, Menjadi Orangtua



Tahun ini, saya dan mas suami Insya Allah berencana program anak kedua.

Yakin sudah siap?

Jujur saja tingkat keyakinannya belum sampe 100% sih. Saya sedang banyak-banyak merenung dan bertanya pada diri sendiri. Apakah saya beneran sudah siap menjadi ibu dari 2 orang anak?

Karna menjadi ibu, nyatanya memang sama sekali gak sederhana.

Baca juga: Tentang Keputusan Nambah Anak

Saya jadi ingat prolog dari buku 5 Madrasah Kecilku karya Mbak Kiki Barkiah.

Apa sih motivasi kita punya anak? Biar ada yang rawat saat kita tua kah?

Kenyataannya, banyak tuh orangtua yang harus sebatang kara bahkan akhirnya tinggal di panti jompo padahal anaknya banyak.

Biar bahagia kah? Kenyataannya, banyak sekali kasus tentang anak yang menjadi sumber stress orangtuanya.

Jadi kalo dipikir-pikir, motivasi punya anak harusnya melampaui hal-hal keduniawian semacam di atas ya?

Sayangnya, banyak juga (atau kebanyakan?) yang punya anak ya sekedar punya anak aja. Karna memang umumnya orang ya gitu. Anak-anak, dewasa, menikah, lalu punya anak. Gak ada yang perlu dipikir dan direncanakan dengan baik.

Akibatnya, anak-anak yang lahir dan tumbuh dari orang tua yang motivasinya cuma 'umumnya-manusia-ya-habis-nikah-punya-anak', akhirnya tumbuh setumbuh-tumbuhnya. Terpaksa kehilangan kesempatan memupuk potensi luar biasanya, karna orangtua mereka sama sekali gak ngeh tentang potensi tersebut.

Jadi, harusnya keputusan untuk punya anak gak pernah boleh sesederhana itu. Menjadi ibu gak boleh seremeh itu.

Bayangin ya. Kita, ketika menjadi orangtua, adalah sebab atas terlahirnya seorang manusia baru ke dunia. Manusia yang kecil, lemah, belum bisa apa-apa. Maka, ia adalah sepenuhnya tanggungjawab kita.

Kalo diibaratkan, anak adalah kaset kosong. Dan orangtuanya lah yang bertanggungjawab atas apa saja yang terekam dalam kaset kosong tersebut kelak. Karna kita orangtuanya lah yang merekamkannya.

Fiuuhh.

Bahkan, gak usah jauh-jauh ke soal mendidik, dll dulu deh.

Baru pas proses hamilnya aja udah gak sederhana kan tanggungjawabnya?

Tentang menjaga asupan makan, gak peduli seberapa gak nafsunya kita. Menghindari makanan tertentu yang sekiranya kurang baik bagi janin, gak peduli seberapa suka dan pengennya kita. Minum macem-macem vitamin. Menjaga emosi. Dll.

Ada juga yang protes. Kenapa perempuan kalo punya anak jadi kayak kehilangan dirinya sendiri sih? Jadi seolah semua-mua tentang anak. Gak boleh egois. Kenapa harus begitu?

Ya memang harus begitu. Itu si jabang bayi gak minta loh dikandung dan dilahirkan sama kita. Kita lah yang bertanggungjawab penuh atas hadirnya dia di dunia.

Contohnya soal menjaga makan saat hamil. Sebenernya ada beberapa dokter yang bilang, gak usah ada yang dipantang. Makan apa aja boleh. Mie instan juga gak masalah.

Baca juga: Problematika Menjadi Ibu Baru

Tapi kalo saya pribadi ya. Buat orang dewasa yang gak lagi hamis aja sebenernya mie instan gak sehat kan? Apalagi buat janin kecil yang pertahanannya masih sangat lemah? Daripada kenapa-napa dan saya nyesel cuma gara-gara makanan, saya lebih milih sekuat tenaga menahan diri.

Itu satu dari sekian banyak bentuk ketidakegoisan saya ketika menjadi ibu.

Makanya ketika berencana hamil lagi, bener-bener saya harus menyiapkan diri. Agar saya mampu menekan egoisme saya semaksimal mungkin. Dan itu gak mudah. Makanya harus dipersiapkan. Hehe.

Jadi, kalo ada yang bilang, menjadi ibu itu harus siap melakukan apapun demi anak, rasanya gak berlebihan. Asal, 'apapun'-nya dalam konteks yang mendidik.

Yah, begitulah. Menjadi ibu gak pernah sederhana. Karna kalo sederhana, gak mungkin imbalannya surga 😊

Kamis, 04 April 2019

#BincangKeluarga: Tentang Istri yang Taat pada Suami

Dulu, saya termasuk orang yang bisa dibilang kurang berpikiran terbukan. Saya cenderung hanya mau baca-baca tulisan atau membuka diri pada informasi yang saya tau pasti sesuai dengan nilai-nilai yang saya pegang.

Lingkungan hidup saya jujur saja homogen sejak kecil. Punya teman yang non-muslim pun gak kayaknya gak lebih dari 3 orang. Iya. Sehomogen itu. Mungkin itu sebabnya saya cenderung gak siap terpapar dengan 'perbedaan pandangan'.

Lama-lama saya merasa kuper, dan merasa perlu membuka diri. Saya mulai membaca artikel-artikel yang gak sejalan dengan value yang saya percayai. Meskipun belum berani yang banget-banget bertolak belakangnya sih. Hehe.

Tapi tetep aja. Namanya baru awal-awal yaa mulai baca di luar zoman nyaman saya, kadang di hati tu rasanya nano-nano. Salah satunya tentang tulisan-tulisan tentang perempuan. Akhir-akhir ini (atau dari dulu ya jangan-jangan?) banyak seolah mendengungkan: perempuan harus mandiri, harus punya power, dll. Itu bener sih, saya setuju.

Tapi saya sedih. Karna juga menemui beberapa tulisan yang seolah pesannya, 'gak usah nurut-nurut banget lah sama suami. Kita kan tetap berhak punya keputusan sendiri, punya mau sendiri, dll'.

Baca punya Ade:




Dari tulisan-tulisan semacam itu, kesannya kok jadi taat sama suami itu sesuatu yang membuat kita jadi 'wanita lemah dan terjajah'.

Yah, namanya juga era digital. Semua orang berhak menyuarakan pendapatnya lewat media digital. Yang bisa kita lakukan kalo gak setuju apa? Cara paling elegan menurut saya ya dengan bikin tulisan balik yang gantian menyuarakan pendapat kita.

Lalu gimana pendapat saya tentang istri yang harus taat pada suami?

Ya karna saya muslim, dan saya tau taat pada suami adalah perintah dari Yang Maha Menghidupkan saya, ya saya harus taat.

Sebenernya emang gak akan ketemu sih, karna di sisi sana, landasannya murni hal-hal duniawi. Sedangkan tentang perintah taat pada suami -- seperti halnya taat pada segala aturan Allah -- adalah perkara yang lebih kental urusan ukhrowi (akhirat)-nya.

Taat sama suami karna inget akhirat aja kadang masih suka berat. Apalagi yang gak sedikitpun sambil mikir akhirat kan?

Tapi gini lho. Perintah agar istri taat pada suami itu mbok jangan dikesankan membuat wanita jadi seolah makhluk terjajah.

Ada batasannya kok. Yaitu jika yang diperintahkan suami adalah kebaikan. Ya wajib ditaati. Kalo suami -- misal nih, naudzubillah -- nyuruh melacur, ya malah wajib gak ditaati lah!

Lagipula, perintah agar istri taat pada suami, juga dibarengi perintah-perintah lain kok. Perintah agar suami memperlakukan istri dengan baik, lemah lembut, dll. Suami yang baik pastilah mau mendengarkan pendapat istrinya.

Jadi terutama untuk kalian yang belum menikah, gak usah takut lah sama perintah taat pada suami setelah jadi istri nanti. Pastikan saja calon suamimu adalah laki-laki yang mau menghargai pendapat istrinya kelak.

Yakin deh, taat sama suami itu gak akan menurunkan derajat kita sebagai seorang wanita.