Minggu, 30 Oktober 2022

Proses Adaptasi Punya Adik Baru

Punya anak kedua di saat anak pertama saya usia 5 tahun awalnya bikin saya lumayan pesimis. Ah, pasti akan minim drama lah. Si kakak pasti gak akan ada cemburu-cemburuan, karena kan sudah besar. Apalagi kehadiran si adek ini sangat dia nanti-nantikan selama ini. Begitu pikir saya.

Eh ternyata, tidak seindah itu, ferguso! 😂

Saya seolah 'lupa' bahwa Kakak Faza hanyalah seorang anak berusia 5 tahun, yang terlihat sedewasa apapun, ya tetap saja anak 5 tahun.

5 tahun menjadi satu-satunya pusat dunia saya dan ayahnya, membuat si Kakak oleng ketika tiba-tiba ada anggota baru yang menyedot perhatian kami besar-besaran. Dulu, selama saya ada di radius pandangan dia, maka kapanpun dia butuh, saya siap grak selalu gercep memenuhinya. Setelah adiknya lahir, dia harus menerima berbagai jawaban yang mungkin membuat dia kaget.

"Sebentar ya kak, adek sedang nenen"

"Sebentar ya kak, ibu sendawa-in adek dulu"

"Nanti ya kak, ibu capeeekkk sekali"

Dan lain sebagainya.

Perubahan kondisi itu, membuat Kakak juga tiba-tiba 'berubah'. Saya dan ayahnya sempat merasa Faza benar-benar berubah dan bukan lagi Faza yang kami kenal.

Faza yang kami kenal, meski adakalanya membuat kami jengkel, tetaplah bagi kami anak yang manis. Anak yang cukup mudah diarahkan dan dinasehati. Begitu adiknya lahir, duaarrr! Faza berubah jadi anak yang seolah selalu ingin menguji kesabaran ayah ibunya. Apapun yang ayah ibu katakan, maka dia akan mencari cara gimana caranya untuk mengingkarinya.

Dia juga jadi gak kerasan sekali di rumah. Kapanpun ada kesempatan untuk keluar dari rumah, maka dia akan melakukannya. Tanpa pamit! 😭 Ini bikin kami shock sekali, karena kami paham betul Faza bukan tipe anak yang seperti itu sebelumnya.

Malangnya, kami tidak langsung menyadari bahwa perubahan itu merupakan akibat dan bagian dari proses adaptasi punya adik baru. Apalagi saat itu saya dan ayahnya juga sama-sama sedang beradaptasi juga dengan tambahan tanggung jawab baru. Belum lagi di sebulan pertama, si adek boboknya selalu di atas jam 12 malam, bahkan seringnya masuk jam 2 malam baru bisa tidur. Sedangkan siang hari, saya juga hampir gak pernah bisa tidur siang.

Lengkaplah sudah. Faza yang kebingungan menghadapi kondisi baru. Ayah-ibunya yang kebingungan menghadapi dia sekaligus kehabisan energi untuk menelaah dengan kepala dingin apa sebenarnya penyebab Faza tiba-tiba berubah.

Bisa ditebak, tiap hari isinya kami yang marah-marah ke Faza, dan Faza yang marah balik. Kami yang menangis, dan kami yang semakin marah. Duh ya Allah, kalau inget masa itu 2 bulan lalu, rasanya hari-hari gelap banget 😭

Pernah suatu malam, Faza gak pulang ke rumah sejak habis sholat magrib di masjid hingga menjelang pukul 8 malam. Saya resah sekali tentu saja, mencoba minta tolong ayahnya untuk memanggil Faza untuk pulang. Fyi, sebelumnya Faza hanya kami ijinkan main di luar rumah saat malam pada malam minggu saja. Sedangkan saat itu hari sekolah.

Ayahnya menolak, karena sedang merasa capek. Capek mental terutama. Faza sudah berkali-kali melakukan hal yang serupa sejak adiknya lahir. Saya juga bisa menerima dan memaklumi penolakan ayahnya saat itu. Dia lelah fisik, lelah mental. Kalau dia manggil Faza untuk pulang saat itu, pasti gak akan  mulus-mulus saja. Seperti yang sudah-sudah, harus ada adu urat dulu, Faza menolak sambil marah, ayahnya ikut marah, lalu Faza manangis meraung-raung. 

Saya sendiri juga saat itu dalam kondisi yang gak memungkinkan untuk memanggil Faza, karena adeknya sedang kembung dan rewel tiap diletakkan di kasur. Selain itu, ayahnya juga minta saya untuk menunggu sampai Faza pulang sendiri.

Pikiran saya ke mana-mana. Gimana kalau Faza tetep gak pulang? Apa kata tetangga nanti lihat Faza seperti gak terurus? Dll. Alhasil, saya cuma bisa berurai air mata sambil gendong si adek. Bingung harus gimana ngadepi Faza. Hhh, begitulah. Cerita flashback gini aja rasanya inget banget gimana capeknya saat itu.

Alhamdulillahnya, Faza punya kemampuan mengungkapkan perasaan dengan cukup baik. Meskipun kadang caranya masih kurang tepat -- karna sekali lagi, dia tetaplah masih seorang anak 5 tahun.

Dia berkali-kali bilang, "ibu sekarang gak pernah urusin aku, urusinnya adek terus."

Kalimat itu menjadi semacam clue untuk kami. Ternyata segala ulahnya selama ini memanglah karena dia sedang 'cemburu'. Adakalanya, hati saya sebagai ibu serasa diremas-remas mendengar ungkapan hatinya.

Seperti suatu saat sepulang sekolah, saat ia marah tidak jelas dan saya mulai terpancing emosi, saya tanya dengan nada tinggi, "Kakak tu kenapa sih, kaaakk? Ibu harus gimana? Kok ibu salah terus di mata kakak?!"

Lalu dengan berurai airmata ia berkata, "aku tu kangen, Buuuu... aku kangen ngomong-ngomong sama ayah sama ibu lagi kayak dulu pas habis sholat magrib (kami sering quality time dengan bercanda dan ngobrol seusai sholat magrib memang), Tapi sekarang udah gak bisa lagi, kan sekarang sudah ada adek..."

Dia mengatakan itu dengan perasaan sedih yang tergambar jelas di wajahnya. Saya cuma bisa memeluk dan menjelaskan, bahwa kehadiran adek sama sekali bukan penghalang untuk kita bisa seperti dulu lagi.

Pernah juga suatu saat, saat saya dan ayahnya sedang tersenyum-senyum memandangi adeknya. Ternyata si kakak mencuri pandang dari kejauhan. Saat saya menyadari dan memanggilnya, dia bilang, "ayah ibu kok kalau lihat adek kayak seneng gitu ya, senyum-senyum terus... tapi kalau lihat kakak kok enggak". Duh Ya Allah...

Tapi Alhamdulillah semua itu sudah berlalu. Di usia adiknya yang kurang lebih 2 bulan, Kakak sudah mulai bisa beradaptasi dan menerima kehadiran adiknya, sejalan dengan saya dan ayahnya yang juga sudah mulai bisa menata diri dengan kondisi baru.

 

 

Proses Adaptasi Punya Adik Baru

 

Kakak Faza sekarang sudah kembali menjadi Kakak Faza yang kami kenal. Alhamdulillah...

Meskipun tentu saja bukan berarti tantangan sudah selesai. Setelah ini pasti akan ada tantangan-tantangan baru.

Semoga kami bisa terus bertumbuh bersama dan saling menguatkan. Aamiin.

Selasa, 18 Oktober 2022

Birth Story Anak Kedua

Setiap anak lahir dengan kisah kelahirannya masing-masing. Begitu juga anak-anak saya.

Baca: Cerita Kelahiran Faza

Dulu saya kira, melahirkan anak kedua pasti kesannya tidak akan semendalam anak pertama. Ternyata saya salah. Apalagi anak kedua saya lahir setelah melewati penantian, doa dan ikhtiar sekian lama.

Cerita Kelahiran Ahsan, Anak Kedua kami

Sejak kontrol di minggu ke 36 dengan dokter @drdewisrihandayanispog di klinik Klinik Ngesti Widodo, beliau bilang, adek janin BB-nya cukup besar. Usahakan agar adek lahir tidak sampai 40 minggu seperti kakaknya, karena khawatir BB-nya akan terlalu besar.

Dari situ, saya termotivasi untuk gimana caranya kontraksi muncul di kisaran usia kandungan 37-38 minggu. Berbagai usaha saya lakukan. Dari mulai berdoa (yang utama), ajak ngobrol adek janin, serta berbagai usaha lain.

Baca: Kilas Balik Trimester 3 & Persiapan Melahirkan

Di kelas privat dengan yang kedua dengan Bu Bidan Cahyaning di tanggal 13 Juli 2022 petang, saya cerita, seharian itu perut saya sering sekali kencang dan kontraksi palsu. Aku cerita juga bahwa gak bisa memenuhi target latihan harian yang beliau kasih.

Akhirnya pada sesi tersebut, beliau melakukan pemeriksaan dalam. Dan mayan kaget, karena beliau bilang udah mulai bukaan 1 😱 Lalu beliau minta salah satu bidan Ngesti Widodo (Bidan Terra) untuk kasih saya beberapa treatment untuk optimalisasi posisi janin. Saya juga ditawari untuk pijat perineum, dan aku iya-kan.

Paginya, Kamis 14 Juli 2022, saya mulai keluar lendir campur darah. Tapi saya gak kaget, karena sebelumnya sudah dikasih tau sama Bu Bidan, bahwa biasanya kalau habis periksa dalam dan pijat perineum, akan keluar darah.

Tapi ya tetap aja jadi mulai deg-degan. Akhirnya saya memutuskan untuk gak berangkat kerja. Padahal harusnya cutinya per tanggal 18 Juli 2022. Hehehe. Suami juga saya suruh ijin gak masuk.

Kontraksi mulai rutin datang, tapi masih tipis-tipis doang. Makin siang, bukannya makin kuat, eh malah ilang sama sekali 😂 Bikin galau banget.
 

Jum'at, 15 Juli 2022 masih sama seperti kamis. Pagi kontraksi rutin datang, tapi masih tipis, makin siang makin ilang. Berusaha untuk tetap tenang. Tetap happy. Sembari tetap ikhtiar main gymball, yoga, squat, dll.
 

Sabtu, 16 Juli 2022, jadwal kontrol dengan dokter Dewi. Diperiksa dalam, masih tetap bukaan 1. Taksiran BB janin sudah mencapai 3,6 yang mana akan terus nambah kalo gak segera lahir 😥 Ketuban juga udah mulai mepet, tapi masih bisa bertahan kurang lebih seminggu, kata beliau. Dicek posisi janin, ternyata kepalanya belum ngunci dan masih goyang (belum benar-benar optimal). Akhirnya beliau mengarahkan, Selasa 19 Juli 2022 kontrol ulang dengan beliau, kalo masih belum ada perkembangan, beliau menyarankan untuk ikut program induksi alami ala Ngesti Widodo hari Rabu tanggal 20 Juli 2022.
 

Ahad, 17 Juli 2022. Masih jalan-jalan ke Ambarawa. Masih makan nasi uduk di Taman Tirto Agung. Tapi yang spesial, di hari Ahad ini, Mas suami semangat ngajakin optimalisasi posisi janin bersama pasangan yang dulu diajari Bu Bidan. SLR, Rebozzo shifting dan rebozzo shaking. Kontraksi tipis-tipis masih terus muncul, datang dan pergi, tapi gak kunjung menguat. Malamnya, saya merasa ada yang 'aneh'.

Saya merasa CD yang saya pakai terasa lembab. Gak cuma lendir darah seperti beberapa hari ini, tapi disertai seperti rembesan air. DEG, jangan-jangan ketuban rembes? Aku langsung chatt ke nomor customer care-nya Ngesti Widodo, dan diminta untuk segera datang ke klinik aja. Tapi karena masih belum yakin, saya memutuskan untuk mantau lebih lanjut sampai besok paginya aja (keputusan yang ternyata agak 'berbahaya').

Senin, 18 Juli 2022. Mas suami berangkat kerja karena udah 2 hari ijin, sedangkan saya masih terus ngrasa lembab di pakaian dalam. Tidak lama kemudian, pihak Ngesti Widodo menghubungi, menyarankan untuk segera datang ke Klinik sesegera mungkin. Akhirnya saya chatt mas suami, minta dia segera pulang. Tekadku bulat, saya memang harus segera ke klinik.

Akhirnya sampai di Ngesti Widodo kurang lebih jam 13.00. Kami langsung disambut dan dilayani Bu Bidan Terra yang super duper ramah. Kami diarahkan untuk langsung rawat inap dan mengambil program layanan PC 37+ (induksi alami ala Ngesti Widodo). Kami iya-kan. Lalu dimulailah berbagai langkah persiapan persalinan.

Pertama Bidan Terra memantau kontraksi yang datang, selama 1 jam. Datang per berapa menit dan seberapa kuat. Ternyata sudah mulai rutin datang, hanya saja memang belum kuat. Setelah itu saya dipersilakan makan siang dulu, sembari suami mengisi berbagai formulir dan lembar persetujuan, sekaligus dijelaskan berbagai 'aturan main' yang harus disepakai oleh kami sebagai pasien dengan pihak Klinik Ngesti Widodo.

Sekitar jam 3 sore, aku diarahkan ke semacam ruang persiapan persalinan. Bu Bidan Cahyaning datang untuk periksa dalam. Bukaan 1 longgar menuju 2, kata beliau. Dan ternyata, fix ketubanku memang sudah rembes.

Karena ketuban sudah rembes, maka dilakukan rekam jantung janin, untuk memantau kondisi janin. Sebelum rekam jantung janin, bidan Terra kasih treatment SLR. Rekam jantung janin dilakukan kalo gak salah saat itu jam 4 sore. Dan aku ngrasa kontraksinya sudah mulai lebih kuat dan jarak waktunya agak lebih memendek.
 

Sekitar jam 5 sore, aku diajak pindah ke ruang VK. Kontraksi udah makin kerasa, tapi masih cincai laahh, masih sangat bisa saya tolerir dengan atur nafas. Masih bisa jumawa. Huehehe. Di sana dilakukan rekam jantung janin ulang. Agak deg-degan, apakah si adek baik-baik saja? Kenapa rekam jantung harus sampai 2x?



Awal-awal pindah ke ruang VK

 

Jam 6-7 malam kontraksi makin terasa. Tapi lagi-lagi masih bisa tahan. Masih di rebozzo sama bu bidan (duh kalo di rebozzo tuh pas kontraksi malah jadi nyaman banget, ga berasa sakit), masih makan malam, masih diajak mikir paksu bikin kalimat untuk ijin sekolahnya Faza 😂
 

Jam 8 malam, mulai deh kocar-kacir 😂 Masih berusaha atur nafas. Tapi makin kewalahan, terutama karena sensasi ingin ngejan mulai muncul 😭 dicek bubid, katanya pembukaan 6 menuju 7. Huhu, udah pesimis banget, ngira lahirnya akan di atas jam 12 malam.

Jam 9 malam, makin kocar-kacir. Oh ya, dari awal muncul kontraksi teratur, entah kenapa saya ngantuk sekali! Jadi di sela-sela kontraksi, saya sering ketiduran. Nah, pas bukaan 7 menuju 8 ini, saya bener-bener ngantuk parah sampai rasanya kayak ngawang-ngawang antara mimpi dan sadar. Akibatnya, pas kontraksi datang, saya sering 'lupa' atur nafas, dan kecolongan ngejan sebelum waktunya beberapa kali 😭

Yang bikin semangat dan tenang, selama proses pembukaan, Bu Bidan Tiwi dan Bu Bidan Syefa selalu setia mendampingi. Ada yang pijitin punggung tiap kontraksi datang, kalau gak salah si adek juga udah harus dibantu oksigen karena mulai stress di dalam akibat ketuban yang sudah makin menipis. Bidan Syefa juga beberapa kali bantu mengingatkan cara nafas yang benar, meski gak bisa saya praktekkan dengan sempurna.

Tapi minimal saya merasa 'diperhatikan' oleh tenaga medis yang siap menolong saya. Beda banget dengan saat melahirkan Faza dulu. Dibiarin aja berdua cuma sama suami, Bu Bidannya cuek bebek sampai akhirnya pembukaan lengkap.

Kurang lebih jam 9 lebih (entah lebih berapa tepatnya) Bu Bidan Cahyaning datang datang. Beliau memberikan aba-aba yang singkat, padat namun sangat jelas.

"Bu, bukaan sudah lengkap, siap-siap ngejan. Gak usah panik, gak usah bingung. Tarik nafas dalam, tahan lalu hembuskan dengan kuat" begitu kurang lebih.

Dua kali ngejan, saya ngejannya gak tertata alias sambil panik. Alhasil gak efektif. Lalu Bidan Naning mengulang instruksi. Dua kali ngejan, lahirnya si bayi kecil yang kami nanti-nantikan selama hampir 3 tahun, dengan berat badan lahir 3,47 Kg dan panjang badan 51 cm. Alhamdulillah, Allahu Akbar!

Adek Ahsan bersama Kakak Plasenta

 

Foto pertama bersama Ibu :)


Foto pertama bersama Kakak

Foto pertama bersama Ayah

Kami beri nama ia Ahsan. Semoga ia tumbuh menjadi anak yang baik hatinya, baik akhlaknya, dan baik nasibnya. Aamiin.


PS: Ditulis ketika usia Ahsan tepat 3 bulan.