Kamis, 25 Juni 2020

Catatan Ibu Profesional: Aliran Rasa di Penghujung Matrikulasi

Tidak terasa ternyata sebentar lagi kelas matrikulasi berakhir, dan kami harus melanjutkan perjalanan ke samudra yang jauh lebih dalam lagi.

Saya jadi terkenang, tentang niat saya belajar di Institut Ibu Profesional yang sudah ada sejak dua tahun lalu. Sempat maju-mundur, karna awlanya merasa inferior. Kenapa inferior? Karna saya kira, IIP lebih diperuntukkan untuk ibu rumah tangga yang fokus di ranah domestik. Saya sempat takut akan mendapatkan banyak justifikasi negatif sebagai ibu yang memilih untuk berkiprah di ranah publik. Alhamdulillah, ketakutan saya tersebut sama sekali tidak terjadi.


ibu-profesional


Di kelas matrikulasi ini, saya banyak sekali belajar. Tentang hal-hal yang sebenarnya sangat mendasar yang harus diketahui seorang ibu pembelajar. Tapi sayangnya justru banyak dilupakan. Salah satunya tentang core value: belajar, berkembang, berkarya, lalu berdampak.

Berapa banyak ibu pembelajar yang selama ini lompat dari belajar ke (berusaha) berdampak? Saya sendiri salah satunya. Tidak heran jika akhirnya dampaknya tidak akan maksimal, atau bahkan bisa jadi gagal berdampak sama sekali.

Salah satu materi yang berkesan bagi saya adalah materi yang disampaikan oleh Widyaismara Mbak Rima. Khususnya bagian tentang bahwa belajar pun butuh skala prioritas. Kenapa sangat berkesan bagi saya? Karna selama ini saya tidak punya skala prioritas dalam belajar. Saya ingin belajar banyak hal, tapi lupa bahwa tenaga, pikiran dan waktu saya terbatas. Saya nggak mungkin bisa belajar semua hal yang saya inginkan dalam satu waktu, tanpa membuat skala prioritas.

Misi Connecting The Dots kemarin juga bagi saya cukup berkesan. Kami diminta untuk melihat lebih jauh ke dalam diri kita sendiri. Tentang seperti apa diri kita ini, apa yang membuat kita unik, nilai apa yang selalu kita pegang, dan apa yang sedang kita perjuangkan.

Dalam misi Connecting The Dots tersebut, banyak teman matrikan di regional Semarang yang merasa misi ini sangat menantang dan membuat kitaharus merenung cukup lama. Ya, saya pun merasakannya. Dari situ saya jadi bisa melihat. Betapa kita sebenarnya sering lalai melihat diri kita sendiri. Betapa kita sering lalai mengenali diri sendiri, sehingga merasa cukup kesulitan saat diminta untuk menjabarkan hal-hal yang diminta dalam misi tersebut.

Tapi yang paling berkesan bagi saya sejujurnya adalah bertemu banyak sekali para ibu pembelajar di kelas matrikan, khususnya dari regional Semarang. Saya senang sekali punya banyak teman baru yang hebat-hebat, yang tidak berhenti belajar dan yang selalu membawa aura positif.

Semoga pertemanan kami tidak turut selesai bersamaan dengan selesainya kelas matrikulasi batch 8 ini. Aamiin.

NB: Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kelas matrikulasi batch 8 Institut Ibu Profesional.

Jumat, 19 Juni 2020

Catatan Ibu Profesional: Mencari Makna Diri

Dulu saya pikir, pencarian makna diri itu sudah selesai di masa-masa remaja hingga menginjak dewasa. Saya pikir, setelah menikah dan punya anak, saya tidak perlu lagi mencari makna diri karna saya akan dengan serta-merta menjadi 'utuh' ketika sudah berumah tangga dan melahirkan seorang anak.

Bukankah penanaman keliru seperti itu masih banyak terjadi di masyarakat kita? Seolah menikah dan punya anak adalah titik akhir bagi seorang wanita. Seolah setelah itu, kita tidak lagi bisa dan perlu mengembangkan diri.

Beruntungnya, kita ada di sebuah era di mana informasi berkembang amat cepat. Termasuk ilmu pengetahuan dan kesempatan belajar yang juga berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi informasi tersebut. Dengan banyaknya informasi yang saya dapat, saya jadi 'ngeh', ternyata saya belum boleh berhenti mencari makna diri. Saya harus terus berproses untuk membuat diri saya utuh sebagai pribadi, istri maupun ibu.

Maka, berikut adalah catatan saya dalam proses mencari makna diri.



Seperti Apa Aku Ini

Seperti apa saya ini?

Saya adalah seorang berkepribadian 75% introvert, 25% ekstrovert. Seperti umumnya orang introvert, saya kurang suka bertemu banyak orang. Bertemu dan mengobrol dengan banyak orang bagi saya cukup menguras tenaga.

Sejalan dengan itu, kemampuan komunikasi lisan saya tidak begitu baik. Saya bukan orang yang pintar memaparkan apa yang ada di kepala saya dnegan baik melalui lisan. Sebaliknya, saya lebih suka memaparkan isi pikiran saya melalui tulisan.

Meski begitu, Alhamdulillah saya punya sedikit jiwa ekstrovert yang membuat saya adakalanya merasa butuh bersosialisasi dan berkomunitas, meski tidak pernah bias maksimal dan sering membuat saya merasa kelelahan di tengah perjalanan, karena introvert saya jauh lebih mendominasi.

Saya juga seorang plegmatis yang cinta damai. Saya paling tidak suka dan tidak tahan dengan konflik. Hal itu membuat saya sering sekali menjadi ‘juru damai’ bagi orang-orang di sekitar saya yang sedang berkonflik. Saya senang menjadi penengah, dan punya kemampuan untuk ‘mendinginkan’ mereka.

Selain itu, saya adalah seseorang yang sangat mudah tertarik pada hal baru, dan ingin mempelajarinya. Terutama sejak jadi ibu. Saya ingin mempelajari banyak hal, hingga seringkali membuat saya merasa kewalahan dan kehilangan focus.

Alhamdulillah, sejak belajar di kelas matrikulasi IIP, saya jadi tau, bahwa belajar pun butuh skala prioritas. Kapasitas otak saya terbatas. Saya tidak mungkin bisa. Kalua dipaksakan, pasti tidak akan maksimal.

Nilai Apa yang Saya Miliki?

Saya senantiasa berusaha memegang nilai-nilai yang ada dalam Al Qur'an dan Hadist, meski masih jauuuuhh dari sempurna.

Saya juga punya beberapa nilai yang saya pegang dengan cukup teguh, di antaranya adalah: "Kita diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan". Nilai tersebut sebagai pengingat bagi diri saya, bahwa jika kita ingin diperlakukan dengan baik, maka kita harus memperlakukan orang lain dengan baik pula.

Apa yang Membuat Saya Unik?

Yang membuat saya unik adalah, saya seorang introvert tapi punya cukup banyak teman dan tergolong cukup mudah akrab dengan orang baru. Selain itu, saya adalah pendengar yang cukup baik, sehingga banyak sekali teman yang memilih saya sebagai tempat curhat mereka. Termasuk bagi suami saya sendiri.

Selain itu, saya juga orang yang cukup peka terhadap perasaan orang lain, tapi di sisi lain sering 'tidak peduli; dengan sekitar, saat sedang melakukan sesuatu. Saya sering tenggelam dan asyik dengan dunia saya sendiri.

Apa yang Saya Perjuangkan?

Yang saya perjuangkan sebagai pribadi adalah saya ingin jadi seseorang yang punya energi positif dan bisa membagikan energi tersebut ke orang lain. Saya ingin menjadi orang yang punya kesehatan mental yang baik, sehingga saya bisa berinteraksi dengan orang-orang di sekitar saya tanpa menjadi toxic. Selain itu, saya juga berjuang untuk bisa terus menghasilkan karya yang membuat saya bisa mengapresiasi diri saya sendiri, dan pada akhirnya membuat saya semakin percaya diri.

Sebagai istri, saya sedang berjuang untuk menjadi istri sholihah bagi suami saya. Yang qona'ah, dan taat pada apapun perintahnya, sehingga kami bisa terus bersama tidak hanya di dunia, melainkan hingga surga.

Sebagai seorang ibu, saya berjuang untuk menjadi fasilitator terbaik bagi anak saya, dan mengantarkannya menjadi orang sholih yang mensholihkan orang lain, tapi tidak menjadikan kesholihannya untuk mengukur kesholihah orang lain.. Saya ingin membersamai tumbuh kembang anak saya, meski waktu yang saya miliki untuk mendampinginya tidak banyak, saya percaya kualitas jauh lebih penting dibanding kuantitas. Saya ingin menjadi ibu yang bisa sekaligus menjadi sahabat bagi anak saya hingga ia dewasa.

Apa Kesamaan Saya dengan IIP?

Kesamaan saya dengan IIP adalah sama-sama ingin selalu mengembangkan diri dan memberikan dampak baik bagi orang lain.

IIP juga menjadi wadah bagi banyak ibu untuk mengembangkan diri, seperti saya yang menjadi wadah bagi keluarga saya untuk mengembangkan diri.

NB: Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas Matrikulasi Batch 8 regional Semarang IIP.

Jumat, 12 Juni 2020

Melayani dengan Hati

Saya bungsu dari 3 bersaudara. Ibu saya seorang ibu rumah tangga yang keinginan melayaninya luar biasa besar. Kebahagiannya adalah ketika bisa memastikan suami dan anak-anaknya terpenuhi segala keinginan dan kebutuhannya di dalam rumah. Tidak jadi soal meski itu membuat tubuhnya letih kepayahan.

Sebagai anak bungsu, saya seolah selalu ditempatkan di zona nyaman. Tidak peduli sedang ada badai dalam keluarga kami, semua orang seperti selalu memastikan saya aman, dan tidak perlu tau semua itu. Pun dengan dua kakak saya yang luar biasa sayangnya pada saya.

Bersyukur? Jelas!

Tapi apakah ini ada sisi negatifnya? Sayangnya, ada.

Karena terlalu lama ada di zona nyaman, saya limbung begitu 'dilepaskan' oleh keluarga saya untuk mengarungi pelayaran panjang di bahtera bernama rumah tangga. Saya seperti tidak punya cukup bekal untuk menjadi seorang istri dan ibu dengan segala peran dan tanggung jawabnya.

Maka, tiga tahun awal pernikahan saya, diisi dengan saya yang terombang-ambil di tengah pelayaran. Saya yang sarjana akuntansi, menjadi akuntan yang sangat handal untuk menghitung apa saja tugas yang sudah saya lakukan, dan apa saja yang sudah suami saya lakukan. Ya, saya hitung-hitungan tiap hari. Kalau saya sudah nyetrika, artinya suami saya harus nyuci piring. Kalau saya masih belum bisa tidur karna ngurusin rumah di malam hari, maka suami saya pun nggak boleh tidur. Semua saya hitung dengan detail.

Pun dengan kemampuan melayani saya yang nol besar. Saya nggak merasa harus menyuguhkan minuman untuk suami jika dia belum minta. Pun saat waktunya makan, saya nggak merasa harus melayani dengan mengambilkan nasi dan lain-lain untuk suami saya, kecuali jika dia minta tolong. Dulu saya selalu berpikir, kenapa pula harus diambilkan? Kan ambil sendiri pun bisa.

Hari-hari di awal pernikahan saya diwarnai dengan banyaknya protes di dalam hati. Kok gini sih ternyata jadi istri dan ibu? Kok apa-apa harus selalu saya? Udah capek masak, nyetrika, dan lain-lain, eh waktunya anak mandi maunya sama saya lagi!



Melayani dengan Hati

Hingga suatu hari saat merenung, saya merasa ada yang salah dengan semua ini. Ada yang perlu dibenahi dari diri saya sendiri.

Saya kemudian belajar. Dari banyak buku, banyak tulisan dan sharing orang-orang yang bisa dijadikan panutan, tidak terkecuali ibu saya sendiri.

Saya belajar tentang fitrah apa saja yang Allah sematkan dalam diri seorang wanita yang telah berstatus sebagai istri sekaligus ibu. Saya membuka mata hati agar bisa melihat dan menemukan kunci atas keikhlasan para istri-istri luar biasa yang saya kenal, dalam mempersembahkan pelayanan terbaik bagi keluarganya.

Dan belum lama ini saya menemukannya!

Kuncinya adalah: sertakan hati. Gunakan hati untuk merasai bagaimana bahagianya bisa melayani. Gunakan hati untuk menghayati peran yang melekat pada diri. Agar tak terus-terusan membandingkan zona nyaman di masa lalu, saat belum memiliki peran seperti yang hari ini diemban.

Yang jauh lebih menguatkan lagi adalah nasehat sederhana ibu, yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya di bawah ini. Tentang sebuah motto sederhana agar selalu ringan bergerak.

"Kalau bukan aku, siapa lagi?"


Kesadaran diri itu tidak dibiarkan oleh Allah saya temukan begitu saja tanpa mengujinya, apakah saya benar-benar bisa mengaplikasikan kesadaran diri tersebut?

Yaitu melalui moment Work From Home selama kurang lebih dua bulan, tepatnya pada bulan April dan Mei. Saat itu, saya benar-benar berusaha menanamkan sekuat mungkin kesadaran diri tentang peran dan fitrah saya sebagai istri dan ibu. Saya menyertakan hati di setiap tugas dan tanggung jawab yang saya jalani.

24 jam bersama di rumah, sesuatu yang dulu sangat saya impikan, dan Alhamdulillah Allah beri kesempatan untuk mencecap rasanya meski hanya sementara.

Lelah? Sekali! Berkali lipat lelahnya dibandingkan saat saya harus bekerja di kantor seperti biasanya. Masak sehari tiga kali. untuk makanan inti. Ditambah masak berbagai jajanan, mencoba berbagai resep. Mencuci piring entah berapa kali sehari. Menyetrika, dan banyak lagi tugas yang lain.

Tapi amazing-nya, saya nggak sedikitpun marah dan memprotes keadaan seperti sebelum-sebelumnya. Saya merasakan kenikmatan yang belum pernah saya rasakan. Ketika melihat anak dan suami melahap dengan nikmat apa yang saya sajikan. Memuji, lalu tersenyum dan memeluk saya dengan penuh cinta. Lelah, tapi nikmat. Yang seperti itu ternyata memang ada.

Melayani dengan hati, ternyata membuat beratnya tugas melayani bertransformasi menjadi salah satu hal yang terasa membahagiakan serta melegakan.

NB: Tulisan ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas matrikulasi Institut Ibu Profesional Batch 8.