Senin, 02 November 2020

Cerita Panjang Menyembuhkan Trauma BAB Faza

Sebahagia-bahagianya punya anak, pasti ada titik di mana kita merasa 'ini kok menguji kesabaran banget ya?'. Iya, kan?

Anak Ibu A, perkembangan motoriknya oke banget. Tapi makannya susah setengah mati.

Anak Ibu B, makannya gampang banget, sama sekali nggak picky eater, tapi sering banget tantrum.

Anak Ibu C, anaknya manis, jarang tantrum, tapi beberapa perkembangan motoriknya butuh stimulasi khusus.

Dan masih banyak sekali kombinasi lain. Yang jelas, setiap anak itu unik. Dan setiap ibu punya ujiannya masing-masing.

Dalam setiap sesi obrolan dengan teman sesama ibu saya selalu bilang, ujian terberat saya dari punya anak adalah saat menghadapi trauma BAB Faza. Bukan tentang flat foot-nya.

Baca: Tentang Flat Foot-nya Faza

Yep, Faza sempat mengalami trauma BAB berkepanjangan, dan benar-benar menguras energi, air mata, kesabaran -- dan nggak ketinggalan, materi. Keinginan untuk menuliskan cerita tentang trauma BAB yang Faza alami sudah ada sejak lama. Tapi saya selalu merasa nggak siap. Karena, beneran deh, rasanya nyesek banget. Akhirnya saya memutuskan untuk bertekad menuliskannya saat Faza sudah bisa dikatakan pulih dari trauma tersebut.

 

trauma-BAB-berkepanjangan

 

Dan Bismillah, here we go!

Awal Mula Faza Trauma BAB

Sejak Faza masih hanya mengonsumsi ASI, BAB-nya memang cenderung jarang banget. Kalau banyak orang cerita bayi bisa BAB beberapa kali dalam sehari, Faza enggak. Pernah bahkan sampai seminggu lebih dia nggak BAB. Tapi karena saat itu dia hanya mengonsumsi ASI, dan dari hasil browsing sekaligus konsul dengan dokter katanya nggak masalah karna masih bayi ASI, ya sudah saya nggak merasa itu masalah.

Yang jadi masalah adalah ketika dia mulai MPASI, tentu saja. Dengan pengetahuan saya yang sangat minim saat itu tentang per-MPASI-an, tapi sok tau banget, siklus BAB Faza masih tetap nggak lancar. Tiga hari sekali itu sudah termasuk yang paling cepat. Tapi Faza nggak menunjukkan tanda-tanda dia merasa nggak nyaman dengan perutnya. Makan tetap banyak. Nggak pernah GTM sama sekali.

Sampai suatu hari, sepulang jalan-jalan dengan beberapa teman kuliah saya, Faza tiba-tiba rewel sekali. Saat itu, dia -- kalau nggak salah -- udah hampir seminggu nggak BAB. Iya, saya tau saya salah karena kok ya dibiarin aja anak seminggu nggak BAB.

Saat itu Faza usia 9 bulan. Untuk pertama kalinya dia sembelit. BAB-nya keras sekali. Nangisnya heboh dan seperti sangat kesakitan. Jelas saya ikut nangis.

Dan dari situlah trauma BAB faza bermula. Sejak hari itu, nggak pernah sekalipun Faza BAB tanpa menangis ketakutan.

Trauma BAB Berkepanjangan, bak Lingkaran Setan

Saya kira, sembelit saat itu nggak akan berkepanjangan. Sayangnya, perkiraan saya salah besar.

Tadinya, saya selalu berharap, semakin besar Faza akan semakin paham bahwa BAB itu bukan hal menakutkan. Kenyataannya, semakin besar dia justru semakin pandai menahan BAB-nya, yang akhirnya menjadi lingkaran setan.

Trauma BAB --> nahan BAB --> BAB jadi keras dan sakit --> makin trauma lagi

Muter gitu aja terus, dan bikin saya berkali-kali merasa kehilangan harapan.

Saya nggak berlebihan ketika bilang merasa seperti kehilangan harapan, padahal 'cuma' soal trauma BAB. Kalian nggak akan bilang 'cuma', jika tau seperti apa Faza setiap hendak BAB.

Nangisnya seperti anak yang sedang disiksa oleh ayah-ibunya. Meraung-raung. Setiap BAB, kamar mandi rasanya seperti neraka. Dan lagi-lagi, seperti lingkaran setan.

Dia menangis meraung-raung --> ayah-ibunya berusaha membantu --> dia makin heboh nangisnya --> ayah-ibunya kehilangan kesabaran --> ayah-ibunya marah-marah --> Faza makin-makin heboh nangisnya -->> dan seterusnya. Bahkan beberapa kali dia sampe gloseran di lantai kamar mandi *CRY*.
Ya Allah, nyeritain ini aja rasanya bikin saya capek banget karena masih merasakan betapa terkurasnya emosi saya saat itu :(

Perjalanan Panjang Menyembuhkan Trauma BAB Faza

Hampir setiap orang yang tau cerita soal Faza yang BAB-nya susah alias selalu sembelit, pasti akan bilang: dikasih sayur dan buah dong!

Padahal ya, berani taruhan, Faza makan JAUH LEBIH BANYAK sayur dan buah dibanding anak mereka-mereka semua yang bilang seperti itu!

Yang bikin saya bingung, beberapa artikel bilang bahwa anak batita justru tidak disarankan makan terlalu banyak buah dan sayur. Tapi ketika datang ke dokter spesialis anak, ada dokter yang setuju dengan isi artikel tersebut, namun ada pula yang tidak setuju dan tetap menyarankan memperbanyak sayur dan buah. Pusing!

Apa saja cara yang kami tempuh untuk menyembuhkan trauma BAB Faza?

Rasanya hampir semua cara yang kami tau, sudah pernah kami coba.

Pergi ke dokter, tentu saja. Oleh mereka dikasih resep prebiotik dan obat pengencer poop yang cukup menguras kantong. Apakah ada hasilnya? Nope. Nggak ada hasil signifikan.

Oleh tetangga yang bekerja di sebuah klinik dokter, pernah menyarankan sebuah obat pencahar. Yang konon manjur banget, karena ibunya yang sempat sembelit parah, minum obat itu sekali, poop-nya langsung lancar jaya. Bahkan kata beliau, saat minum agak kebanyakan dikit, poop-nya malah jadi 'terlalu lancar'.

Jelas saya langsung beli obat yang sama. Hasilnya? Nihil. Bahkan saya sempat nekat memberi Faza lebih banyak dari takaran sebenarnya, dan tetap nggak ngaruh sedikit pun!

Betapa sakti mandragunanya anak saya dalam hal menahan hasrat BAB-nya -_____-

Yogurt dari yang mahal sampai yang biasa saja? Sudah.

Yakult? Hampir tiap hari.

Pernah juga saya sengaja ngasih makanan pedas. Dengan harapan dia diare. Bayangkan, ibu macam apa yang bisa-bisanya pernah sangat berharap anaknya diare?! Ya itu, saking hopeless-nya. Saya pikir, kalau Faza diare, mungkin akan mengubah pola pikir dia tentang betapa susah dan sakitnya mengeluarkan poop.

Sayangnya, lagi-lagi harapan saya nggak terkabul. Faza hampir nggak pernah diare, malah sejak saat itu dia jadi doyan makan pedas. Saat itu saya bahkan bingung harus bersyukur atau nggak untuk hal ini. Haha!

Cara terakhir yang kami andalkan dalam setiap sesi per-BAB-an Faza adalah: microlax.

Pakai Microlax, hampir selalu berhasil membuat pup Faza keluar, meski pernah juga beberapa kali tetap nggak keluar, atau butuh 2 microlax sekali BAB. makanya saya bilang, nggak cuma menguras emosi, air mata, dan kesabaran. Kantong pun ikut terkuras. Bayangkan, tiap dia BAB, kami harus mengeluarkan uang minimal dua puluh lima ribu. Mewah sekali BAB anak saya. Hihi.

Sayangnya, di mata Faza, cara pakai Microlax itu menakutkan. Dia nangis makin-makin heboh tiap kami akan member dia Microlax. jadi tambah satu lagi kan lingkaran setannya.

Dia menangis meraung-raung --> ayah-ibunya berusaha membantu --> dia makin heboh nangisnya --> ayah-ibunya kehilangan kesabaran --> ayah-ibunya marah-marah --> Faza makin-makin heboh nangisnya --> kami memberi microlax --> nangis makin-makin-makin heboh --> Faza makin-makin trauma --> dan seterusnya.
Tapi ya gimana lagi, hanya Microlax yang bisa kami andalkan agar poop Faza keluar. Meski sedih luar biasa melihat dia ketakutan saat dikasih Microlax, kami lebih nggak mau membuat dia harus masuk Rumah Sakit karena poop-nya nggak keluar :((

Sounding? Hampir setiap hari. Saya bahkan membelikan dia buku bertema ajakan untuk poop, demi mengubah persepsinya tentang poop. Saya pernah berpikir ingin membawa Faza untuk hypno-therapy. Tapi belum kesampaian karena minim info tentang ini.

Baca juga: Rekomendasi Buku Favorit Faza

Dulu, setiap habis menemani Faza BAB, saya pasti selalu kehabisan energi. Lemes. Efek dari perasaan sedih, capek, marah, bercampur menjadi satu. Dan hampir pasti, saya pasti menangis. Sibuk menyalahkan diri sendiri kenapa Faza jadi seperti itu.

Saat itu, tiap melihat poop Faza keluar, rasanya saya seperti melihat emas! Rasa leganya bahkan mirip dengan saat saya berhasil mengeluarkan dia dari perut saya.

Butuh Hampir Tiga Tahun Untuk Bisa Melihat Faza BAB Tanpa Menangis

Harapan terbesar saya saat itu, betapa inginnya saya melihat Faza BAB tanpa menangis, seperti anak-anak pada umumnya. Harapan yang patah entah berapa ratus kali, lalu dengan susah payah saya tumbuhkan lagi.

Sounding yang biasanya selalu efektif saat saya menyapih dan mengajari dia untuk tidak pipis di diapers pun rasanya tidak kunjung menuai hasil.

Doa seusai sholat pun yang utama adalah 'sembuhkan Faza dari trauma BAB-nya, Ya Rabb'. Ya, doa adalah senjata terakhir saya. Saat saya benar-benar nggak tau lagi harus gimana.

Ternyata, semua itu bukan tidak membuahkan hasil. Hanya saja, butuh waktu hampir tiga tahun untuk saya akhirnya bisa melihat Faza bisa BAB tanpa menangis heboh. Saya lupa bagaimana persisnya awal mula Faza mulai pulih.

Sepertinya memang karena dia sudah mulai bisa mencerna pengertian, bahwa setiap orang BAB, BAB itu harus, kalau BAB ditahan nanti semakin sakit karena keras, dll. Kalimat yang sudah saya ulang hampir ribuan kali.

Alhamdulillah, di usia 3,5 tahun Faza perlahan mulai pulih dari trauma BAB-nya. Meski masih harus merayu untuk BAB, setidaknya dia tidak lagi histeris mendengar kata 'ayo BAB'.

Alhamdulillah tsumma Alhamdulillah.

Trauma BAB Faza, mungkin meninggalkan luka batin pada diri Faza. Karena dalam perjalanan panjang menyembuhkan trauma BAB-nya, entah berapa kali kami -- ayah-ibunya -- membentaknya, membuatnya ketakutan. Ya Tuhan, sedih banget tiap ingat masa-masa itu. Sediiiih banget.

Mungkin, trauma ini akan membekas pada diri Faza sebagai luka pengasuhan. Mungkin akan membekas pada diri faza sebagai inner child. Saya janji pada diri saya sendiri, kelak saat Faza dewasa, saya akan meminta maaf secara khusus atas masa-masa itu. Saya menulis ini pun, salah satunya agar semoga kelak dia bisa membacanya.

Terima kasih untuk siapa saja yang telah bersedia membaca cerita saya ini :)