Jumat, 09 Maret 2018

#CeritaFaza: Faza Setahun!

Beberapa waktu lalu, mas suami nyeplos. "Udah lama gak baca cerita perkembangan Faza di blog".

Dan saya cuma bisa meringis sedih 😭
Jadi, daripada gak ditulis sama sekali dan akhirnya kenangan berlalu begitu saja, cerita Faza 7 bulan sampe setahun dirangkum di sini aja lah 😊

Faza udah setahun? Allahu akbar! Betapa waktu begitu cepat berlari. Don't grow too fast, naakk.

Karna rapelannya sudah terlalu lama, dan saya udah agak lupa momen-momen pertumbuhan Faza setiap bulannya, jadi saya cerita rangkuman secara umum aja.

MPASI

Salah satu hal yang sangat saya syukuri adalah Faza gampang sekali makannya. Plang plung. Gak picky eater. Semoga tetep gini seterusnya sampe gedhe. Aamiin.
Saya lebih sering masak MPASI-nya Faza sendiri. Meski bukan berarti gak pernah beli. Kalau pas bangun kesiangan, dan waktunya terlalu mepet, yaudah beli bubur bayi organik di pinggir jalan yang bertebaran itu. Yang jelas, sampe sekarang belum pernah Faza sehari full makannya bubur bayi kardusan itu. Beli bubur kardusan juga cuma sekali, dan lebih banyak yang terbuang.

Berhasil no gulgar?

Enggak! Hahahaha.

Tapi gak berhasil no gulgarnya bukan karna intervensi dari pihak eksternal sih. Murni keputusan saya sendiri. Jadi mulai usia 11 bulan, udah mulai saya kasih garam dan gula dikit-dikit.

PERTUMBUHAN

Pertumbuhan berat badan dan tinggi badan Faza Alhamdulillah optimal.
Bahkan pada umur 9 bulan, lonjakan berat badan Faza sempat banyak sekali. Sekilo lebih. Dan ini sempat bikin saya cukup khawatir Faza nanti obesitas.

Karenanya, saya sempat mengurangi secara cukup signifikan porsi lemak tambahan pada menu MPASI-nya. Akibatnya? Sembelit!

Jadi, saya salah sangka karna mengira tujuan ngasih lemak tambahan itu cuma untuk booster berat badan. Lemak tambahan penting sekali untuk bayi, karna juga punya andil besar dalam pembentukan otak dan kelancaran BAB ternyata.

Soal sembelit ini sempat bikin saya galau sekali. Faza bisa sampai 5 hari gak BAB, dan sekalinya BAB pasti nangis-nangis 😭 Padahal bisa dibilang saya udah perhatikan banget pola makan Faza biar gimana caranya gak sembelit. Mau gak mau kami bantu dengan Microlax, dan memberi suplemen Lacto-B atas saran dokter.

Sekarang Alhamdulillah sekarang sudah lancar. Ternyata Faza cuma butuh dibiasakan. Jadi tiap hari, sama budhe Faza diposisikan BAB sama budhenya. Dan ya keluar 😅 Dasar anak bayi ya. Mana mereka tau hasrat BAB itu harus segera ditunaikan. Lha wong ibunya aja kadang masih sering nahan kalo lagi males 😂

PERKEMBANGAN

Nah, ini bagian paling emosional untuk diceritakan bagi saya.

Jadi lumayan bingung juga mulainya dari mana 😄

Emm, kalau menurut KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan), perkembangan Faza masih tergolong sesuai. Hanya saja, pada beberapa aspek, ada tahap perkembangan yang bisa dibilang terlambat.

Yang utama adalah soal merangkak. Faza belum bisa merangkak sampai sekarang. Baru bisa merayap aja usia 11 bulan. Ada yang kaget?

Sayangnya, saya terlambat menyadari. Saya terlambat menyadari bahwa perkembangan motorik kasar Faza terlambat 😭 Harus saya akui, mungkin salah satu faktor penyebabnya adalah saya yang kurang ngasih stimulasi, dan terlena memantau perkembangan Faza.

Beberapa cerita orang cukup menenangkan saya. Bahwa memang ada anak yang gak merangkak. Langsung jalan. Dan mereka baik-baik saja. Tapi sejujurnya, saya ingin sekali Faza melewati fase merangkak 😢

Apakah saya galau? Ya, sempat pastinya. Tapi tidak dengan sekarang. Saya memilih tetap percaya bahwa Faza pasti bisa, dan dia baik-baik saja. Tentu saja sambil terus berusaha melatih dan memberi stimulasi. Meski ada beberapa kendala, yang kayaknya bakal terlalu panjang kalau saya ceritakan.

Tapi, agak terlambatnya perkembangan motorik kasarnya Faza ngasih banyak sekali hikmah buat saya. Selain saya lebih konsen dan care, saya juga merasa ini cara Allah mengajari saya dan suami untuk mencintai anak apa-adanya. Menerima dia sepenuh cinta, meski dia tak selalu bisa persis seperti yang kami harapkan.

Yah begitulah. Alhamdulillah Faza sudah satu tahun bersama kami. Doakan kami menjadi orangtua yang amanah. Doakan kami menjadi tim solid yang sholih-mensholihkan. Aamiin.

Jumat, 02 Maret 2018

Kenapa Memilih Dipanggil Ibu?


Disclaimer: Tulisan ini berisi MURNI pendapat pribadi saya, tanpa bermaksud mengejek, merendahkan atau memojokkan panggilan Bunda, Mama, Mami, Umi atau yang lain. Tentu saja boleh gak setuju, tapi gak perlu debat 😊 Please, jangan ada baper di antara kita yaa 🙏

Pertanyaan lain yang sering ditanyakan oleh para penjenguk saat Faza lahir -- selain pertanyaan k*mpr*et soal 'Asinya udah keluar belum?', adalah pertanyaan tentang '(Faza) manggil (saya)-nya apa?'

Yang anehnya, saat saya menjawab 'Ibu', beberapa dari mereka lanjut tanya, 'Kok ibu?'

Bahkan ibu saya sendiri pun tanya begitu loh. Aneh kan? Aneh lah!

'Kok ibu?'

Lha emang kenapa kalo Ibu? Ada yang salah? 😂

Padahal saya manggil ibu kandung saya sendiri ya dengan panggilan ibu. Lalu kenapa beliau heran saat saya memutuskan untuk minta dipanggil ibu oleh anak saya? 😆

Baca juga: Belajar Parenting, Belajar Mendidik Diri Sendiri

Sebenarnya saya tau sih latar belakang kenapa ada beberapa orang yang heran saya pengen dipanggil ibu, termasuk ibu saya sendiri.

Faza lahir di kampung halaman saya, yang masih bisa dikategorikan sebagai desa. Cukup jauh dari kota kabupaten. Cukup jauh apa jauh banget ya lebih tepatnya, entahlah. Haha.

Kalau duluuu, di desa kebanyakan orang memakai panggilan emak. Atau beberapa memanggil ibu -- dan ini sudah termasuk yang paling modern. Sekarang? Panggilan emak sudah hampir punah 😂 Terutama di kalangan ibu muda. Mereka memilih untuk dipanggil bunda, mama, umi, bahkan ada juga yang mami.

Nah, tetangga-tetangga saya di kampung halaman sana beranggapan, saya (yang menurut mereka) sekarang berdomisili di kota (Semarang), pastilah akan memilih dipanggil bunda, mama atau umi. Makanya, saat tau saya memilih dipanggil ibu, mereka heran. Menurut mereka panggilan ibu itu ndeso 😅

Ibu saya sendiri sampe pernah meyakinkan diri dengan bertanya, "Kenapa to kok pengen dipanggil ibu? Gak pengen dipanggil bunda seperti yang lain?"

Saya jawab enteng. "Enggak ah. Kalo dipanggil bunda nanti jadi kayak guru PAUD, yang sekarang umumnya dipanggil bunda" 😁

Jujur, duluuu saya memang gak pernah kepikiran pengen dipanggil ibu sama anak-anak saya. Pilihan saya dulu ada 2: Bunda atau Umi. Tapi setelah hamil, saya gak tau kenapa berubah pikiran. Merasa 'gak aku banget' lah pokoknya.

Lagipula, dua kakak ipar saya dipanggil dengan sebutan itu. Yang satu bunda, yang satu umi. Saya pengennya anak-anak saya panggil mereka bunda dan umi juga, bukan budhe 😊 Makanya saya jadi cari panggilan lain.

Jadi, kenapa saya memilih dipanggil ibu?

Karna saya juga memanggil ibu saya dengan panggilan ibu. Karna setiap saya menyebut kata ibu, hati saya hangat. Karna bagi saya, sebutan 'ibu' selalu menggambarkan banyaaakkk kebaikan, kedamaian, kesederhanaan, kebersahajaan. Karna saya ingin saat kelak Faza sudah dewasa dan hidup jauh dari saya, Faza merasakan hal yang sama rasakan saat menyebut kata 'ibu' 😭 *kenapa jadi drama gini* 😂😂

Intinya, menurut saya panggilan ibu itu 'saya banget'. Simpel, sederhana dan romantis. *uhuk* 😂

Eniwei, jaman sekarang panggilan untuk ibu variatif bangettt ya. Kreatifnya orang sekarang superrrr banget lah pokoknya. Saking kreatif dan anti-mainstreamnya, banyak banget yang punya 'plesetan' untuk panggilan ibu ini.

Jadi gak cuma ibu yang umum sekarang. Umi, bunda, mama dan mami pun udah mulai dianggap terlalu umum. Berganti: Bubu, Ibun, Embun, Ami, Umami, dll embuh apa lagi 😂

Nah, kalau teman-teman, dipanggil apa sama ananda-ananda tercintanya? Share alasan kenapa memilih panggilan itu di kolom komentar yaa 😊