Entah rasa syukur sebesar apa yang harus saya haturkan pada Allah atas segala karunia ini. Setelah sekian tahun bergelut dengan pertanyaan 'siapa jodohku' dan 'kapan aku menikah', akhirnya hari ini saya bisa melepaskan diri dari teror kegalauan tersebut. Jadi pengen teriak: YES, SAYA SUDAH NIKAH! Ehehehehe.
Saya pernah mendengar seseorang berkata, bahwa setelah menikah kita akan merasakan ketenangan hati yang tidak akan kita rasakan saat masih sendiri. Dan, iya... Alhamdulillah saya merasakannya :) Meskipun saya tau, tau banget, bahwa pernikahan ini bukanlah akhir dari segala kegalauan. Akan ada kegalauan-kegalauan berikutnya yang mungkin akan saya rasakan. Tapi seenggaknya, saat ada kegalauan yang menerpa saya, ada seseorang yang bersedia menjadi tempat saya berbagi kegalauan tersebut, dan semoga bisa mengimbanginya dengan menyalurkan energi positifnya pada saya. AHSEK! =))
Seminggu pertama pernikahan, apa yang saya rasakan? Bersyukur, pasti. Bahagia, tentunya. Lebih dari itu, seminggu pertama pernikahan ini saya masih ada dalam fase berusaha menyadari bahwa sekarang sudah saatnya saya mempraktekkan ilmu-ilmu pernikahan, terutama kewajiban-kewajiban sebagai istri yang telah saya pelajari (meskipun tentu saja belum sepenuhnya). Sudah bukan lagi waktunya saya hanya 'sebatas' membaca. Apa gunanya ilmu tanpa amal?
Dan menyadari hal tersebuat butuh waktu dan proses. Hari pertama menikah, saat lapar saya asyik makan sendiri, sementara mas suami di kamar. Saya baru sadar baru setelah kakak ipar saya menegur, 'Lho, kok makan sendiri?! Kamu udah punya suami lhoo'. Wkwkwkw =)) Ya, menyadari kewajiban-kewajiban super sederhana seperti itu ternyata juga butuh kesungguhan dan pembiasaan. Apalagi kewajiban-kewajiban yang jauh lebih besar dari itu.
Yang coba saya tanamkan pertama kali di awal pernikahan ini adalah sebuah nasehat yang pernah saya baca dalam sebuah artikel. Bahwa seorang istri itu harus menjaga mata, hidung dan perut suaminya. Menjaga mata agar tak melihat sesuatu yang tak ia suka. Ini tantangan buat saya. Mas suami tipe orang yang suka kerapian. Sedangkan saya? Haha! Maka, saya harus mendidik diri saya sendiri untuk menciptakan keadaan rapi yang disukai oleh mas suami. Menjaga hidung agar ia tak sampai mencium sesuatu yang tak ia sukai dari diri saya. Dan menjaga perut dengan cara memperhatikan waktu makannya. Ya, saya mencoba memulai menjadi istri yang diridhoi suami dari hal yang menurut saya mampu saya usahakan.
Sekali lagi, apakah saya bahagia? Ya, tentu saja sangat bahagia. Meski pun tak serta-merta jadi lupa diri. Beberapa orang berkomentar menanggapi luapan kebahagiaan saya dan si mas. Ah, baru seminggu sih, baru indahnya aja yang kelihatan! Lantas, apakah kami jadi harus pasang kewaspadaan penuh 'menanti' ketidakindahan hadir, dan mengabaikan kebahagiaan kami? Saya mencoba belajar dari mereka. Bahwa komentar simpel pun adakalanya berpotensi mengusik kebahagiaan orang lain :)
Kami bahagia. Tapi di atas kebahagiaan ini, kami tengah membangun pondasi, yang semoga akan membuat bahtera kami tetap tangguh saat tiba saatnya badai dan angin menerpa.
Kepada seluruh sanak-saudara, sahabat baik, dan teman-teman yang telah hadir memberikan doa dan hadiah dalam acara walimah kami pada tanggal 7 Mei 2016 dan 14 Mei 2016, serta yang tak kuasa hadir tapi tetap menyempatkan mengirimkan doa, kami memgucapkan seluas-luasnya rasa terima kasih. Jazakumullahu khairan katsir...
Yang coba saya tanamkan pertama kali di awal pernikahan ini adalah sebuah nasehat yang pernah saya baca dalam sebuah artikel. Bahwa seorang istri itu harus menjaga mata, hidung dan perut suaminya. Menjaga mata agar tak melihat sesuatu yang tak ia suka. Ini tantangan buat saya. Mas suami tipe orang yang suka kerapian. Sedangkan saya? Haha! Maka, saya harus mendidik diri saya sendiri untuk menciptakan keadaan rapi yang disukai oleh mas suami. Menjaga hidung agar ia tak sampai mencium sesuatu yang tak ia sukai dari diri saya. Dan menjaga perut dengan cara memperhatikan waktu makannya. Ya, saya mencoba memulai menjadi istri yang diridhoi suami dari hal yang menurut saya mampu saya usahakan.
Sekali lagi, apakah saya bahagia? Ya, tentu saja sangat bahagia. Meski pun tak serta-merta jadi lupa diri. Beberapa orang berkomentar menanggapi luapan kebahagiaan saya dan si mas. Ah, baru seminggu sih, baru indahnya aja yang kelihatan! Lantas, apakah kami jadi harus pasang kewaspadaan penuh 'menanti' ketidakindahan hadir, dan mengabaikan kebahagiaan kami? Saya mencoba belajar dari mereka. Bahwa komentar simpel pun adakalanya berpotensi mengusik kebahagiaan orang lain :)
Kami bahagia. Tapi di atas kebahagiaan ini, kami tengah membangun pondasi, yang semoga akan membuat bahtera kami tetap tangguh saat tiba saatnya badai dan angin menerpa.
Kepada seluruh sanak-saudara, sahabat baik, dan teman-teman yang telah hadir memberikan doa dan hadiah dalam acara walimah kami pada tanggal 7 Mei 2016 dan 14 Mei 2016, serta yang tak kuasa hadir tapi tetap menyempatkan mengirimkan doa, kami memgucapkan seluas-luasnya rasa terima kasih. Jazakumullahu khairan katsir...