Pernah gak sebel sama suami karena suatu hal, tapi kita memilih untuk diam -- berharap suami bisa paham perasaan kita tanpa kita harus mengungkapkannya secara langsung?
Saya sering =D
Pernah gak pengin sesuatu, tapi gengsi untuk bilang, lalu memilih mengirimkan kode pada suami? Misal, lagi pengin diajak piknik, lalu kita nge-share artikel tentang pentingnya mengajak istri piknik di FB, berharap suami paham bahwa itu merupakan kode -- tapi sayangnya bahkan di bacapun enggak.
Lagi-lagi, saya sering =D
Dan ending dari semua itu rata-rata selalu sama. Saya yang semakin uring-uringan dan termehek-mehek karna merasa suami sama sekali gak peka. Gak ngerti perasaan istrinya. Berkali-kali pula suami menekankan, bahwa ia tak tau maksud dan keinginan orang yang diam, karna dia bukan dukun.
Atas kasus hobi kirim kode dan gagal menangkap kode ini, istri seringkali menuduh suami gak peka, sedangkan suami menganggap istri gak jelas. Hehehe.
Atas kasus hobi kirim kode dan gagal menangkap kode ini, istri seringkali menuduh suami gak peka, sedangkan suami menganggap istri gak jelas. Hehehe.
Lalu saat kita (istri) sedang ingin menumpahkan segala hal yang terasa memenuhi hati dan pikiran. Pernah gak bukannya lega, kita malah dibikin bete karna suami menanggapi dengan berbagai nasehat dan solusi atas apa yang kita ungkapkan, sedangkan kita menganggap semua itu bukanlah solusi yang tepat. Lalu di akhir pembicaraan, dengan sewot kita menutupnya dengan satu pernyataan, 'kamu tu gak ngerti!'. =D
Pada saat yang lain, adakalanya suami tampak jauh lebih pendiam. Insting kita sebagai istri seringkali tau bahwa ia sedang menanggung sebuah beban pikiran. Lalu dengan segenap cinta kita menawarkan telinga untuk mendengarkan segala ceritanya -- seperti kita juga selalu menginginkan hal yang sama saat sedang ada masalah, tapi suami dengan cool-nya menjawab, 'gak ada apa-apa kok'. Kemudian kita terluka. Merasa ia tak percaya pada kita karna enggan berbagi masalahnya.
Pernah mengalami itu semua?
Meski belum lama berumah-tangga, saya sepertinya sudah pernah mencicipi itu semua. Pernah suatu hari, saya menyodorkan buku tentang pernikahan pada suami. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa ketika perempuan (istri) sedang bercerita tentang masalah-masalahnya, ia sebenarnya hanya butuh didengarkan. Karena hanya dengan mendengarkan dengan baik, istri merasa sudah dibantu untuk menyelesaikan 75% masalahnya.
"Tuuu mas, jadi kalo aku lagi curhat mas jangan motong dengan nasehat-nasehat atau tawaran solusi, karna itu malah bikin aku bete!" begitu ucap saya.
Tapi saya kecele saat di sub-bab berikutnya dijelaskan bahwa seorang lelaki cenderung fokus untuk merenung dan mencari jalan keluar saat sedang ada masalah, bukan dengan bercerita. Saya malu pada diri sendiri, berarti saat suami gak mau cerita, bukan berarti dia gak percaya sama saya, tapi memang begitulah caranya menghadapi masalah.
Saya jadi ingat kata Ustadz Salim A Fillah dalam sebuah seminar pra-nikah yang saya tonton di Youtube. Beliau mengacu pada buku "Men Are From Mars, Women Are From Venus" karya John Gray. Bahwa laki-laki dan perempuan tumbuh dengan kemampuan linguistik yang jauh berbeda. Perempuan punya linguistik dan kepekaan perasaan luar biasa, sehingga membuatnya mampu (dan suka) mengungkapkan sesuatu secara terselubung, atau istilah masa kininya kode. Sedangkan kemampuan linguistik laki-laki gak cukup berkembang untuk bisa menangkap maksud-maksud terselubung yang dilemparkan perempuan.
Salahnya saya, bukannya menggunakan pengetahuan tersebut sebagai bekal memahami suami, saya malah menggunakannya sebagai 'senjata' untuk menuntut suami memahami saya.
Berulang-kali saya sewot karna suami gak juga paham saat saya mengirimkan kode, berulang-kali pula suami marah dan meminta saya ngomong dengan jelas tanpa perlu kode-kodean. Kalau dipikir-pikir, mengungkapkan sesuatu pakai kode memang bikin capek, kan? Tapi gimana ya, ada rasa gengsi yang gak bisa diungkapkan saat harus mengungkapkan sesuatu secara gamblang. Dan saya menggunakan teori 'laki-laki dari Mars, perempuan dari Venus' itu sebagai dalih pembenaran atas keengganan saya melakukan penyesuaian pola komunikasi dengan suami.
Tapi kemudian suami saya melontarkan teori yang bikin saya terdiam.
"Mas dari Mars, kamu dari Venus... tapi kita bertemu dan bersatu di Bumi. Jadi Ayok kita kesampingkan sifat-sifat bawaan kita dari Mars dan Venus, lalu sama-sama menggunakan sifat Bumi. Jadi bisa selaras." begitu katanya.
Ah, iya ya. Harusnya pengetahuan atas perbedaan yang saya, bukan saya gunakan sebagai senjata menuntut suami untuk memahami, tapi sebagai bekal agar bisa saling memahami dan menyesuaikan agar perbedaan yang ada gak menjelma menjadi jarak yang semakin melebar.
Pernah gak punya pengalaman soal perbedaan komunikasi dengan pasangan? Share, yuk :)