Minggu, 21 Februari 2016

Pre Marital Check Up, Pentingkah? (Part. 2)


Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya dengan senang hati saya menyetujui ajakan si Mas untuk melakukan pre marital check up.

Baca: Pre Marital Check Up, Pentingkah? Part. 1

Setelah sepakat untuk melakukan pre marital check up, kami mulai mencari info. Terutama tentang biaya, dan pemeriksaan apa saja yang ada dalam paket pre marital check up tersebut. Akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada Rumah Sakit yang ada di bawah naungan lembaga tempat kami bekerja, yaitu Rumah Sakit Islam Sultan Agung. Iya sih, unsur subjektif punya peran besar dalam pengambilan keputusan ini. Hehe. Tapi tentu saja ada unsur pendukung lain, yaitu: ramah buat kantong :D

Yupp... Paket Pre marital check up di Rumah Sakit Islam Sultan Agung cukup Rp 200.000 saja per orang. Sedangkan di tempat lain, rata-rata minimal Rp 400.000 ke atas. Tapi tentu saja, harga berbanding lurus dengan fasilitas yang kita terima.


Paket pre marital check up yang kami ambil terdiri dari cek darah rutin, urine, HIV, obgyn untuk saya dan andrologi untuk si Mas. Ohya, tambahan satu lagi, kami juga mendapat fasilitas konsultasi rohani lengkap dengan handbook Bimbingan Pra Nikah.

Tanggal 13 Februari 2016 lalu, kami datang ke Rumah Sakit Islam Sultan Agung sekitar jam 09.00. Kami langsung menuju pendaftaran, dan pihak pendaftaran langsung menghubungi bagian yang menangani Pre Marital Check Up.

Sementara menunggu Mbak Devi -- perawat yang dijanjikan akan mendampingi kami, kami dipersilakan menunggu di ruangan yang amat nyaman.


Tidak berselang lama, Mbak Devi datang dan mengantarkan kami ke ruang pengambilan sampel darah dan urine. Setelah darah dan urine kami telah diterima pihak lab, kami dijanjikan akan menerima hasil lab-nya dua jam kemudian.

Sementara menunggu hasil lab keluar, si Mas dipersilakan masuk ke poly Andrologi. Sementara saya seharusnya masuk ke poly obsgyn. Kenapa seharusnya? Iya, karna akhirnya batal.. Hehe. Hari itu, saya dijadwalkan bertemu dengan dokter spesialis obsgyn laki-laki, sementara si Mas kekeuh gak mengijinkan saya diperiksa oleh dokter laki-laki. Alhamdulillah, Rumah Sakit Islam Sultan Agung sangat mengapresiasi keinginan kami, dan membuatkan jadwal baru untuk saya dengan dokter spesialis obsgyn wanita.

Setelah keluar dari poly andrologi, kami kembali dipersilakan menunggu hasil lab di ruang tunggu yang nyaman tadi. Pada saat menunggu itu, kami didatangi oleh bagian kerohanian. Beliau menyerahkan buku Bimbingan Pra nikah dan memberikan beberapa nasehat tentang pernikahan. Usai sesi bimbingan kerohanian, hasil lab pun keluar. Alhamdulillah hasilnya semua Insya Allah baik dan sehat.

Pada tanggal 16 Februari 2016, saya masih harus lanjut periksa dengan dokter spesialis obsgyn. Lumayan drama sih untuk bagian ini. Hihi. Selain Agak ga tenang karna saya ijin di tengah jam kerja, kebetulan Mbak Devi yang kemarin nemenin kita dari awal kebetulan pas shift siang, jadi saya dilimpahkan ke perawat lain pengganti Mbak Devi. Sempet agak baper gara-gara saya disuruh nunggu, tapu tanpa dikasih kejelasan saya harus nunggu sampai jam berapa dan nunggu siapa. Ya tapi intinya saat itu kebetulan saya lagi PMS aja sih, jadi hawanya udah pengen nyakar-nyakar lantai aja. Haha

Setelah menunggu sekita satu jam lebih dikit, dan beberapa kali ngrecokin 'Mbak bagian Pendaftaran' -- ya soalnya saya gatau harus tanya ke siapa -- akhirnya saya disamperin sama Mbak Perawat pengganti Mbak Devi, dan diantar menuju poly obsgyn.

Di poly obsgyn saya sempet ditanya apa calon saya seorang TNI atau Polisi, saya reflek jawab bukan :D Lalu Bu Dokter heran, 'Kalo enggak, ngapain pake periksa pra nikah segala?'. Saya jawab enteng sih, 'Iseng aja, Dok' *sambil cengengesan'. Haha. Dari situ saya menarik kesimpulan bahwa Pre Marital Check Up memang belum terlalu familiar di mata banyak orang. IMHO, sih.

Setelah di tanya tanggal berapa menstruasi terakhir saya, ada keluhan apa selama ini, dll.. Saya dipersilakan berbaring di rangjang untuk di USG. Otak saya sempet berfantasi, kalo tiba-tiba ternyata ada janin gimana, ya? Haha. *ngacho!*. Singjat cerita, dari hasil USG bisa disimpulkan oleh Bu Dokter Insya Allah semua normal dan sehat. Alhamdulillah.


Yepp... Begitulah cerita Pre Marital Check Up saya. Panjang, yaaa :D

Intinya, Pre Marital Check Up itu menurut saya bukan untuk tau kekurangan calon pasangan kita lalu berpikir ulang, melainkan untuk saling tau kondisi kita dan calon pasangan, lalu kembali memantapkan hati dan menerima segala kurang lebihnya.

Sekian, terima kasih, semoga bermanfaat :D

Sabtu, 13 Februari 2016

Pre Marital Check Up, Pentingkah?


Duluuu sekali, saat saya belum punya bayangan akan menikah dengan siapa (haha) saya berangan-angan ingin melakukan check up sebelum pernikahan, atau sering disebut dengan pre marital check up. Pikir saya waktu itu, agar apabila ternyata ada 'masalah' di badan saya, calon suami saya bisa tau sejak sebelum menikah, sehingga dia bisa menimbang apakah dia bisa menerima 'masalah' yang ada di badan saya tersebut. Jadi gak kaget setelah menikah, karna sudah tau sejak sebelumnya.

Seiring berjalannya waktu, keinginan itu mulai luntur. Selain yakin bahwa saya sehat (harus pede, kan? Hihi), saya juga mikirnya persiapan menjelang pernikahan itu pasti sudah menelan banyak biaya. Masa masih harus ditambah dengan pre marital check up? Mending buat tambahan bayar souvenir, ya :D

Namun, Qodarullah... Allah mempertemukan saya dengan si Mas yang ternyata menginginkan kita berdua melakukan pre marital check up. Awalnya saya masih menimbang-nimbang. Pre marital check up, pentingkah?

Saya pun akhirnya meminta pertimbangan pada mbah google, tentang pendapat beberapa orang mengenai penting atau tidaknya pre marital check up ini. Setelah membaca beberapa pendapat dan cerita dari orang-orang yang telah menjalaninya, menurut saya gak ada salahnya kami melakukan pre marital check up.

Apa pentingnya pre marital check up ini? Agar jika ternyata ada 'masalah' dalam diri kita atau pasangan kita, kita sudah tau sejak awal. Selain agar saling tau kondisi calon pasangan dan bisa saling menerima, kita juga bisa sama-sama mengusahakan penyembuhan atau perbaikan kondisi sejak sekarang. Apalagi jika berkaitan dengan reproduksi.

Lalu kapan sebaiknya dilakukan pre marital check up? Dari hasil berselancar, pre marital check up ini konon idealnya dilakukan enam bulan sebelum pernikahan. Wow, lama banget, ya? Ya tujuannya itu tadi, agar ada waktu yang 'cukup' untuk mengobati jika memang ternyata ada masalah yang ditemui. Tapi, kalaupun gak bisa enam bulan sebelum pernikahan (karna banyak kan, ya, yang menikahnya mendadak, ga sampe enam bulan persiapannya), sebulan sebelum pernikahan pun Insya Allah tetep gak papa.

Nah, hari ini... Sabtu, 13 Februari 2016 ini, Insya Allah saya dan si Mas akan menjalani pre marital check up. Tentang di mana, berapa biayanya, dan cerita detail tentang rangkaian pre marital check up, Insya Allah akan saya bagi ceritanya di part ke-2.

Doakan pre marital check up kami lancar, dan kami dinyatakan sehat, ya :)

Aamiin.

Minggu, 07 Februari 2016

Apakah Ini Yang Disebut Pre Marriage Syndrome?

Dr. Tumblr

Mau menikah? Yakin?

Pertanyaan itu berputar-putar di benak saya semingguan lalu. Pertanyaan yang kemudian menjelma pikiran-pikiran negatif, prasangka, dan puncaknya menjadi sebuah ketakutan yang terasa mencengkeram. Ya, saya sempat amat merasa ketakutan. Hingga pada suatu pagi, saat saya terbangun dari tidur saya, lalu tiba-tiba menangis seketika... Tanpa saya tau sebabnya. Yang saya tau, saya takut.

Menikah berarti siap melepaskan dan meninggalkan segala atribut masa lalu. Sebagai anak bungus bapak-ibu yang amat wajar jika manja, misalnya. Tentu saja gak tepat jika atribut itu tetap saya kenakan. Menikah berarti harus siap memasuki kehidupan baru yang totally berbeda. Menikah berarti harus siap mempersembahkan sebaik-baik bakti pada seorang laki-laki yang belum lama kita kenal dan elum seluruhnya kita tau sifatnya. Bukankah banyak fakta yang menunjukkan bahwa sikap seorang laki-laki antara sebelum dan setelah menikah berbeda bagai bumi dan langit? Hari ini dia amat sempurna menunjukkan kesungguhannya... Bagaimana jika semua itu tak terbukti setelah menikah nanti? Bukankah tak boleh ada kata mundur? Bukankah ini amat menakutkan?

Saya kemudian meminta nasehat pada seorang sahabat tentang apa yang saya rasakan. Ia mengatakan, mungkin itu bagian dari Pre-Merried Syndrom atau Sindrom Pra-Nikah. Saya gak tau persis sih apakah benar apa yang saya rasakan itu merupakan Pre-Merried Syndrom jika dilihat secara teori keilmuan. Tapi konon, perasaan seperti itu sering menyerang orang yang hendak menikah.

Lalu sahabat saya menyarankan agar saya mengambil jeda sejenak. Jeda dari pikiran apapun soal persiapan pernikahan saya. Jeda dari buku-buku pernikahan yang tengah saya baca sebagai bekal mengarungi pernikahan kelak. Karna pikiran yang terus-menerus terpancang pada tema itu, mungkin akhirnya membuat merasa tertekan, lalu memantik berbagai perasaan negatif seperti di atas. Saya menyetujui ide sahabat saya tersebut, dan akhirnya memutuskan untuk menonton film Ketika Mas Gagah Pergi malam harinya.

Esoknya, saya mencoba lebih rileks. Saya tonton beberapa film pendek di YouTube. Film-film sederhana, tapi inspiratif. Membuat saya tersipu, tersenyum, tertawa, juga menangis.

Saat pikiran saya mulai jernih, saya bisa kembali merenungi semuanya. Saya ingat pada cerita Kakak mentoring mingguan saya -- bernama Mbak Surya -- beberapa tahun lalu, saat ia baru saja menikah. Saat itu Mbak Surya cerita tentang prosesnya menuju pernikahan, hingga pernikahan berlangsung. Cerita yang sekaligus bermuatan nasehat.

Mbak Surya bercerita bahwa ia berkali-kali dihinggapi keraguan yang teramat sangat, juga ketakutan. Ia lalu bercerita pada guru ngajinya, dan mendapatkan sebuah nasehat -- yang harusnya saya pakai hari ini.

Guru ngaji Mbak Surya mengatakan bahwa was-was, ragu, takut, itu asalnya dari syetan. Tentu saja syetan akan berusaha menggoyahkan hati seseorang yang akan menikah.. Karna bukankah menikah adalah bagian dari ibadah? Kalau muncul rasa was-was, takut, cemas, dll... Langsung ngaji saja, biar hatinya tenang.

Ah, iya, ya... Ternyata masih sedangkal itu iman saya. Bahkan untuk mengatasi perasaan-perasaan negatif pun saya masih kewalahan, padahal saya tau ilmunya. Tapi terjangan ketakutan luar biasa yang menimpa saya minggu lalu membuat saya semakin sadar untuk kembali meluruskan dan menancapkan niat sekuat-kuatnya.

Bahwa menikah merupakan cara yang Allah tentukan sebagai penyempurna separuh dien saya. Bahwa menikah merupakan sunnah Rasulullah, dan barangsiapa tak mencintai sunnahnya, maka bukanlah termasuk dari golongannya.

Doakan saya, ya, teman :)