Kamis, 29 Agustus 2019

#BincangKeluarga: Rekomendasi Buku Anak (Favorit Faza)

Orangtua mana di era ini yang nggak merasa membaca buku sebagai suatu hal yang harus ditanamkan pada anak-anak mereka sedini mungkin?

Bahkan bayinya baru brojol aja udah semangat banget beliin buku 😂 Ini lagi ngomongin diri sendiri sih sebenernya. Hihi.

Iya, saya pengen banget Faza punya minat baca yang jauh lebih baik dari kami orangtuanya. Dan kayaknya gak ada cara lain untuk mewujudkan itu selain dengan mengenalkan buku ke dia sedini mungkin.

Bahkan dari sebuah kulwa saya tau, ada sebuah challenge yang hits akhir-akhir ini untuk para orangtua, yaitu 1000 buku dalam 3 tahun buat anak. Artinya, saat anak usia3 tahun, dia telah membaca minimal 1000 buku.

WOW, banyak bangettt?? Tekor dong beli 1000 buku??

Tenang, Bu. Ternyata, 1000 buku itu tidak berarti harus 1000 buku yang berbeda. Satu buku yang sama, yang di baca(kan) 10 kali, ya artinya anak telah membaca 10 buku. Gitu.

Kayaknya berat dan gak mungkin banget yaa kalo lihat angka 1000? Padahal, 1000 buku sebelum 3 tahun itu artinya, cukup membacakan sehari 1 buku untuk anak. Kan bisa yaaa harusnya?

Baca punya Ade:



Yang berat istiqomahnya sih. Zzzzz -___-

Sayangnya, saya juga bukan termasuk ibu yang berhasil memenuhi challenge tersebut. Tapi ya gak boleh nyerah dong!

Sejauh ini, ketertarikan Faza sama buku cukup baik. Dan di usia 2,5 tahun ini, saya mencatat beberapa buku favoritnya Faza. Siapa tau bisa jadi rekomendasi untuk para ibu yang sedang ingin membelikan buku untuk ananda tercinta 😊



1. Cilukba!, Rabbit Hole (Devi Raisusa & Guntur G.)

Rabbit Hole merupakan salah satu produsen buku anak lokal yang sangat berkualitas. Sayangnya, mereka sempat memutuskan untuk vakum dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.



Sebelum mereka vakum, Alhamdulillah saya sempat membelikan beberapa buku dari Rabbit Hole untuk Faza. Salah satunya adalah Cilukba!

Saya belinya sebelum Faza usia setahun kalo gak salah. Dan dari awal dia antusias banget tiap dibacain buku ini. Apalagi bentuknya kecil, jadi bersahabat buat tangan mungilnya bayi.

Buku Cilukba! ini teksnya dikit banget, sehingga membuat kita yang membacakan lebih bebas berekspresi.

2. Hijaiyah Animal Series (Trisa Dini Daswan & Evieriel N. Primadani)



Buku ini saya beli melalui sistem PO di sebuah online bookstore di IG. Isinya adalah huruf hijaiyah yang di cetak dalam ukuran besar per lembarnya, di sertai dengan nama hewan dalam bahasa arab yang diawali oleh masing-masing huruf hijaiyah tersebut.

Untuk seumur Faza, dia belum fokus sama huruf hijaiyahnya sih. Masih lebih tertarik dengan gambarnya. Gak masalah buat saya.

3. Saatnya Pup! (Irmalia Sutanto)

Faza itu sempat mengalami trauma pup yang cukup lama dan cukup menguras perasaan saya dan ayahnya. Oh iya, satu lagi, cukup menguras dompet.



Jadi, dia pernah sembelit sekali, sampe berdarah gitu. Setelah itu, dia selalu ketakutan tiap mau pup. Dia selalu berusaha menahan sekuat tenaga, hingga sensasi pengen pupnya hilang. Setelah itu, pupnya akan tertunda, dan akibatnya jadi keras.

Kalo dipaksa ke kamar mandi, beuh nangisnya kayak lagi disiksa 😭 Dipriksain ke dokter pun sama sekali gak ngaruh, karna yang utama ada di mindsetnya yang udah buruk banget soal pup.

Jadi jalan satu-satunya adalah dengan terus-menerus sounding. Salah satunya lewat buku.

Saya seneng banget waktu nemuin buku Saatnya Pup! ini di Gramedia. Karna bener-bener paaassss banget dengan apa yang saya inginkan.

Dan Alhamdulillahnya lagi, Faza suka sama buku ini. Tiap mau pup tapi dia gak mau ke kamar mandi, saya akan bilang, "Eh, Tito (tokoh dalam buku ini) tu kalau mau pup ke mana ya, Za?", terus dia akan jawab, "kamar mandi". Terus saya nyaut deh, "Naaahh, Faza juga berarti harus ke kamar mandi yaaa?". Hehehehe.

4. The Farm (Tanah Pertanian), Tony Wolf

Kalo ini belinya belum lama sih. Setelah dia usia 2 tahun, gara-gara rekomendasi teman.


Bukunya full gambar banget, yang menggambarkan suasana di daerah pertanian. Ada ceritanya sih, tapi Faza bener-bener gak tertarik dibacain ceritanya, karna sibuk mengamati gambar-gambarnya dan terus-menerus bertanya ini apa, itu apa. Hihi.

5. Adab Makan & Minum (Oky E. Noorsari & Ahmad Saba)

Yang ini saya beli sekitar 3 minggu lalu. Sebenernya belinya asal comot aja waktu itu. Tapi ternyata bagus! Dan yang penting, Faza suka banget.


Jujur aja saya masih struggling untuk menanamkan adab makan pada Faza, khususnya soal makan sambil duduk. Salah saya sih karna agak cuek awalnya kalo Faza makan sambil mainan atau jalan-jalan, yang penting dia mau makan. Huhu.

Nah, buku ini cukup membantu saya saat mengingatkan dia tentang adab makan. Cerita dalam buku ini singkat, padat dan mudah dipahami anak. Jadi kayak langsung masuk gitu di memori Faza, meski pengamalannya mah masih angin-anginan. Hiks.

Oke. 5 dulu aja kali yaaa biar gak kepanjangan 😊 Sebenarnya sih masih banyak buku favorit Faza, karna kebanyakan buku yang saya beliin, dia pasti suka. KECUALI, buku-buku bertajuk ensiklopedia. Dia kayak belum ada tertarik-tertariknya sama sekali. Mungkin belum masuk fase sensitifnya kali yaa.
Tapi pada dasarnya, menarik-enggaknya sebuah buku bagi anak tu salah satu faktor terbesarnya adalah gimana cara kita orangtuanya saat membacakannya. Semenarik apa kita membacakannya, seantusias itu pula anak akan menyimaknya. Iya gak, Bu?

Nah, kalo buibu ada yang mau share buku favorit anak-anaknya di rumah boleh bangeettt lho. Siapa tau bisa jadi rekomendasi juga buat saya 😊

Kamis, 22 Agustus 2019

Tentang Flat Foot-nya Faza

Mau nulis ini kok, Ya Allah, gak kesampain teruusss.

Sebenernya sudah pernah cerita lumayan panjang di IG Story. Tapi kayaknya tetap harus ditulis di blog, sebagai arsip pribadi. Dan semoga bermanfaat jika ada yang baca.

Waktu cerita tentang flat foot-nya Faza di IG Story, saya baru tau, ternyata banyak banget yang belum pernah tau tentang apa sih itu flat foot?

Kaki rata atau flat foot adalah kondisi di mana lengkungan yang seharusnya terdapat di telapak kaki, menjadi rata. Pada bayi atau balita, kondisi ini tergolong normal karena tubuh mereka belum sepenuhnya berkembang. Namun pada anak-anak yang sudah lebih besar dan orang dewasa, kaki rata dapat menjadi tanda adanya kelainan pada tulang atau jaringan tendon kaki, jaringan yang menempelkan otot ke tulang. (dikutip dari alodokter)

Kapan saya sadar Faza flat foot?

Ini nih bentuk telapak kaki Faza
Sejak dia bisa jalan, sebenernya. Saya langsung ngeh, kayaknya dia 'istimewa' nih. Tapi, seperti kebanyakan orangtua lainnya ketika melihat kekurangan pada diri anak, saya sempat mengalami masa denial. Ah, nggak pa-pa ah, kakinya Faza pasti nggak pa-pa, nanti pasti bagus sendiri, dan lain-lain, dan seterusnya.

Di masa-masa denial itu, saya terus mencari penjelasan. Saya baca artikel-artikel tentang flat foot, sampai suatu hari, saya membaca IG Story Mbak Brenda (penggiat #ReadAloud), tentang anak-anaknya yang juga punya flat foot.

Memangnya apa sih dampak buruk flat foot sehingga butuh perhatian khusus? Ternyata, soal ini masih banyaakk yang belum tau ya (dilihat dari respon teman-teman pada IG story saya).

Jadi, flat foot itu punya beberapa dampak kurang baik buat seseorang. Di antaranya:

1. Akan cepat capek, alias gak kuat jalan jauh. Faza tu kalo saya ajak jalan agak jauh, pasti malamnya ngeluh, 'ibu, kakinya sakit', gitu.

2. Pergerakan terganggu. Pada Faza, point ini terlihat dari dia yang jadi 'kurang lincah' untuk aktivitas-aktivitas semacam memanjat, berlari, dll. Keseimbangannya kurang bagus gitu. Agak mudah 'goyah', karna pondasinya gak kokoh.

3. Dll. Dampak jangka panjangnya banyak sih.

Dari situ, saya akhirnya bertekad, oke, kayaknya kaki flat foot-nya Faza butuh dikonsultasikan dengan dokter. Sayangnya, mungkin karna tekad kami (saya dan mas suami) yang kurang kuat, rencana konsultasi ke dokter terus tertunda, hingga akhirnya terealisasi di sekitar bulan April 2019.

Langkah pertama, saya dan mas suami datang ke dokter Faskes 1 kami. Ya, kami memakai fasilitas BPJS. Setelah menjelaskan dan menunjukkan kondisi kaki Faza pada dokter, akhirnya kami diberi rujukan ke dokter spesialis anak di RS. Hermina Banyumanik Semarang.

Ohya, ternyata, gak semua dokter 'ngeh' bahwa flat foot itu sebuah kondisi yang harus mendapat penanganan. Soalnya anak teman saya yang juga flat foot, ketika dibawa ke dokter (umum), dokternya bilang, itu bukan masalah, dan menolak memberikan rujukan.

Lanjut ya. Setelah mendapat rujukan, kami datang ke RS Hermina Banyumanik Semarang untuk bertemu dokter spesialis anak. Oleh dokter spesialis anak, kami kemudian dirujuk ke dokter rehabilitasi medik.

Oleh dokter rehabilitasi medik, Faza diberi rekomendasi untuk mendapatkan terapi, dan harus dibuatkan sepatu koreksi. Sayangnya, di RS. Hermina Banyumanik Semarang sendiri, tidak bisa memfasilitasi pemesanan sepatu koreksi tersebut, sehingga kami minta pindah rujukan ke RS Nasional Diponegoro (RSND) Tembalang Semarang.

Oleh dokter rehabilitasi medik RSND, Faza mendapat rekomendasi yang sama dengan saat di Hermina, yaitu dibuatkan sepatu koreksi, dan terapi rutin seminggu sekali.

Terapinya sendiri terdiri dari 2 macam terapi. Yaitu terapi okupasi (melatih keseimbangannya dengan macam-macam stimulus permainan), dan fisioterapi (dipijat).

Ini ruang terapinya

Ini waktu Fisioterapi. Terapi okupasinya kebanyakan video, upload di IG aja deh nanti.

Alhamdulillah sejauh ini Faza enjoy menjalani setiap sesi terapinya. Ini sudah masuk bulan kedua, dan kemarin dokter rehabilitasi medik menyarankan agar terapi dilanjutkan lagi hingga 1 paket (5x pertemuan) lagi.

Apakah sudah kelihatan hasilnya?

Ya enggak secepat kilat itu sih. Ada hasilnya, meski belum benar-benar signifikan. Keseimbangannya sudah cukup bagus. Naik turun tangga sudah lebih lincah. Tapi bentuk kakinya belum terkoreksi. Karna pakai sepatunya juga belum disiplin :(

Ini sepatu koreksinya Faza. Fokus yaa, fokus! =D


Kalo berdasarkan rekomendasi, sepatu koreksi dipake full-time kecuali saat tidur. Sedangkan Faza, kalo di dalam rumah masih belum mau pakai sepatu. Karna dia kan mindsetnya selama ini di dalam rumah ya nggak pakai alas kaki. Lagian sepatunya kan kotor yaa karna sering dipakai di luar rumah, saya galau kalau dipakai di dalam rumah, nanti takut banyak najis yang tersebar :(

Emm, apa lagi yaa yang mau diceritain? Segitu dulu sih.

Yang jelas, dari ujian keistimewaan Faza ini, saya belajar banyaaakk banget. Belajar lebih sabar lagi, belajar berlapang dada menerima kondisi apapun, belajar macem-macem deh pokoknya.

Baca juga: Menjadi Ibu, Menjadi Orangtua

Saya juga makin saluuttt sama para orangtua di luar sana yang juga dikasih ujian anak yang jauh lebih istimewa dari Faza, dan mau berjuang untuk putra-putrinya. Masyaa Allah tabarakallah :)

Jumat, 02 Agustus 2019

#BincangKeluarga: Yang Membuat Istri Terlihat Cantik di Mata Suami

Kemarin siang, saya nggak sengaja baca postingan IG Fahd Pahdepie. Isinya, sebuah screenshoot sebuah pertanyaan dari seorang netizen untuk Fahd yang bertanya apakah ia akan tetap mencintai istrinya, jika istrinya tidak cantik?

Ini nih SS-nya. Hihi.

Saya auto-like sih pas baca. Eehh terus ternyata Ade juga lihat postingan tersebut, dan tertarik. Lalu, dia nyolek saya untuk menjadikan itu sebagai bahan #BincangKeluarga kali ini, yang sudah entah sejak kapan gak jalan. Huhu.

Jadi, baiklah. Mari kita berbincang tentang 'apa sih yang membuat istri terlihat cantik di mata suami?'

Baca punya Ade:



Apa sih sebenarnya yang membuat istri terlihat cantik di mata suami? Apakah karna istrinya rajin nonton tutorial make up di Youtube lalu mempraktekkannya? Atau karna si istri rajin pake berlayer-layer skincare a la Korea, yang bikin wajahnya tampak glowing?

Kalau saya masih single, mungkin saya akan nge-like postingan Fahd di atas semata-mata karna saya menyukai hal-hal yang bersifat romantis. Mungkin juga, saya akan menganggap bahwa jawaban Fahd dan pantun seorang netizen di atas sebagai gombalan semata.

Tapi enggak. Saya nge-like postingan di atas benar-benar karna saya setuju. Karna saya mengaminkan.

Tau nggak? Saya pernah ada dalam kondisi di mana wajah saya super-duper semrawut nggak karuan. Jerawat buanyak. Wajah bengkak semua. Pokoknya nggak ada enak-enaknya dipandang mata. Yah gimana coba, nggak jerawatan dan nggak bengkak aja emang aslinya nggak cantik-cantik amat -__-

Jangan tanya tentang berapa banyak body shaming yang saya alami. Hhhh, ribuan kali mungkin! *biarin lebay*

Tapi saat itu, ada satu orang yang terus-menerus meyakinkan saya, bahwa saya cantik. Nggak terhitung berapa ratus kali dia bilang, saya tetap cantik. Saya tetap menawan. Siapa lagi kalo bukan Mas Suami?!

Apakah saya tersanjung?

Awalnya sama sekali enggak. Saya menganggap itu hanya omong kosong, karna dia pengen nenangin saya yang saat itu sedang hamil. Saya saat itu yakin dia juga nganggap saya jelek dalam hati, tapi nggak tega untuk ikutan bilang.

Tapi lama-lama saya ragu sendiri dengan pikiran saya. Kalau iya Mas Suami bohong, apa iya beliau akan 'se-istiqomah' itu bilang saya cantik? Bahkan hingga hari ini, ketika kami mengenang masa-masa saya hamil Faza, dan saya mengutuk wajah saya sendiri, Mas Suami masih selalu bilang, "kata siapa sih jelek? kok di mata ayah tetep cantik ya? apa ayah yang nggak normal?"

Akhirnya, saya mengakui. Selalu ada ketulusan yang membesamai kalimatnya.

Pernah nggak ketemu pasangan yang menurut istilah banyak orang 'njomplang' banget? Si suami tampan dan gagah, si istri B ajah. Beberapa orang akan berkomentar dalam hati, "dunia tidak adil" ketika melihatnya. Nahh, mungkin mereka lupa. Ada cinta yang membuat si suami, memandang wajah istrinya dengan cara yang berbeda.

Nah, kalo gitu, apakah istri nggak perlu usaha apapun biar terlihat cantik di hadapan suami? Toh kalo memang cinta, mau jelek kayak apa juga akan tetap terlihat cantik di mata suami?

Ya enggak gitu sih. Sebenernya, tanpa embel-embel ingin terlihat cantik di hadapan suami pun, sebenernya fitrahnya wanita itu pasti ingin merawat diri kok. Jadi, merawat diri itu lebih ke demi diri sendiri, yang akan membawa dampak baik ke yang lainnya -- termasuk, jadi makin disayang suami.

Yakin deh, yang pada pake skincare berlayer-layer itu, pasti kebanyakan bukan karna disuruh sama suami kan? Tapi karna keinginan dari diri sendiri untuk merawat diri.

Karna selama ada cinta, maka suami pasti akan melihat istrinya dengan cara yang berbeda dari semua orang. Yang perlu diingat: cinta butuh dirawat.

Jadi jangan sampai, kita para istri sibuk merawat diri, tapi lupa merawat cinta. Karna secantik apapun wajah kita, jika cintanya tidak terawat, maka akan ada lagi yang membuat suami kita memandang kita dengan 'cara berbeda'.