Kamis, 27 April 2017

#BincangKeluarga: Romantis Itu Apa Sih?

Romantis itu apa sih? Kalau menurut KBBI, romantis itu:

ro·man·tis a bersifat seperti dalam cerita roman (percintaan); bersifat mesra; mengasyikkan.


Baca punya Ade:


Kalau menurut saya?

Romantis itu ketika suami-istri saling mengingatkan dalam kebaikan karna pengen bersama hingga surga. Jadi romantis itu bukan cinta sehidup-semati, melainkan cinta sehidup-sesurga.

Aseeekkk aseeekkk =D

Eh, serius ding. Buat apa kan ya kalau cuma bersama di dunia yang sementara ini? :)

Nah, karena romantis versi saya adalah berjuang bersama agar bisa sehidup-sesurga, maka keromantisan yang sering kami jadikan cerminan adalah keromantisan manusia-manusia mulia.

Contohnya Rasulullah. Ah, beliau kan romantiiissss sekali, ya. Kurang romantis gimana jika beliau rela tidur di depan pintu saat pulang terlalu larut karna tak tega membangunkan Aisyah, sedang Aisyah pun tertidur di depan pintu karna menunggui beliau pulang.

Dari mereka, kami belajar tentang romantis yang sederhana. Saling memanggil dengan panggilan istimewa, seperti Rasulullah yang memanggil Aisyah dengan sebutan Yaa Humaira. Yang paling sering dipraktekkan suami sih tiduran di pangkuan saya, seperti yang Rasulullah lakukan :)

Atau dari Sayyidina Umar bin Khattab. Manusia yang bahkan setan pun takut padanya. Tapi ketika istrinya marah, ia memilih diam. Hingga membuat orang yang melihatnya heran. Ketika ditanya mengapa seorang Umar diam ketika dimarahi istrinya, ia menjawab dengan jawaban yang amat romantis.

"Karena ia telah melahirkan anak-anakku, mendidik dan menjaganya. Maka amarahnya, tak sebesar pengorbanannya untuk keluargaku"

Aaakkk, meleleh :')

Kisah romantis tentang Sayyidina Umar ini pastinya kisah favorit para istri sih, ya. Hehe. Tapi bukan berarti lah kita para istri dibenarkan untuk selalu marah-marah pada suami, dan suami harusnya selalu diam seperti Sayyidina Umar. Ya gak gitu dong =D

Maksudnya, mungkin adakalanya sesekali suami rela menjadi tempat istrinya menumpahkan arahnya, yang mungkin sebabnya adalah karna ia kelelahan seharian mengurus rumah dan anak-anak. Iya sih istri wajib selalu memasang wajah manis di depan suami. Tapi kan istri bukan malaikat :)

Makanya Sayyidina Umar ngasih contoh, ayolah para suami, kalau sesekali istri kalian marah-marah, berlapang-dadalah. Lebih bagus lagi kalau setelahnya dikasih uang untuk shopping atau ke salon. Ahahaha.

Jadi sekali lagi, romantis itu apa sih bagi saya?

Ketika saya dan pasangan bisa selalu saling menguatkan dan mengingatkan agar bisa selalu bersama sehidup-sesurga.

Berarti gak pengen hal-hal romantis yang menye-menye seperti dikasih kejutan atau kado gitu?

Gak muna kadang pengen lah. Saya kan wanita normal. Tapi lama-lama saya sadar, pola pikir laki-laki (suami) dan perempuan (saya) itu beda banget. Saya pengennya dikasih kado atau surpraise, plus pengennya suami inisiatif sendiri, rajin kasih kode, eehhh beliaunya tetap gak ngeh. Bukan karna gak mau atau gak pengen, tapi memang karna cara mikirnya beda. Menurut pikiran beliau, ah ngapain sih, kan mentahannya juga udah selalu dikasih jadi bisa beli sendiri sesuai keinginan saya.

Hmm, yasudahlah =D

Daripada makan hati bikin kolesterol, kan mending fokus sama romantis yang lebih bermutu aja :)

Nah, kalau romantis menurut kalian itu yang seperti apa sih?

Kamis, 20 April 2017

#BincangKeluarga: Saya Nggak Percaya Mitos Ini!

Salah satu tantangan hidup di Indonesia menurut saya adalah kepungan berbagai mitos yang gak masuk akal dan susah dipercaya. Eh atau gak cuma di Indonesia?

Pengennya sih diabaikan saja. Tapi gimana dengan orangtua yang kadang masih percaya sekali dengan mitos tersebut? Saking percayanya, maka ketika kita mengabaikan itu mitos, artinya kita telah menyakiti hatinya. Inilah repotnya -_-



Baca punya Ade:


Lebih repot lagi, hampir di seluruh aspek kehidupan, pasti adaaaa saja mitosnya. Gak terkecuali mitos yang berhubungan dengan bayi dan perempuan yang baru saja melahirkan.

Kenapa bahas tentang mitos yang berhubungan dengan bayi dan perempuan yang baru saja melahirkan? Ya selain karna udah sepakat sama Ade, saya juga baru saja mengalami. Mengalami diingetin begini-begitu soal macem-macem mitos itu.

Sikap saya? Senyumin aja lah. Karna meskipun saya gak percaya dengan mitos-mitos tersebut, yang mengingatkan sebagian besar adalah orang tua. Gak sopan lah kalau bantah. Lagian kalau dibantah mereka juga gak akan jadi sepaham sama saya.

Apa saja sih mitos yang berhubungan dengan bayi dan perempuan yang habis melahirkan yang gak saya percaya?

Ya sebenernya sih gak percaya semua. Haha. Tapi gak mungkin ditulis semua. Nah, ini nih diantaranya...

Perempuan yang habis melahirkan gak boleh tidur siang, apalagi tidur pagi. Soalnya nanti ari-arinya (baca: plasenta) bakal balik lagi ke dalam perut.

Huahaha. Aduh maaf saya gak tahan untuk gak ketawa. Lha gimana, mitos ini terdengar sangat sangat aneh. Dan kejam! Gimana gak kejam? Namanya punya bayi pasti malam begadang dong. Eh lha kok gak boleh tidur siang... apa namanya kalau bukan kejam?! -_- Lagian kalau plasentanya balik, mau lewat mana sih =D

Mitos yang juga gak saya percaya sama sekali adalah soal makanan. Menurut beberapa orang tua di sini, perempuan yang habis melahirkan itu gak boleh sembarangan makan sampai 40 hari. Makannya cuma boleh nasi putih, tahu dikukus, sama garam doang. Ibu saya termasuk yang menjadi korban atas mitos ini saat melahirkan dulu. Katanya kalau makan ikan laut, ayam, dll nanti air susunya amis lah, luka bekas melahirkannya gak sembuh-sembuh lah, dll. Banyak pokoknya alasannya, saya gak hafal. Haha.

Kalau kata salah satu istri pimpinan saya di kantor, mitos tersebut salah satu peninggalan hasil propaganda penjajah. Biar bayi-bayi di Indonesia gak dapet nutrisi terbaik dari ASI ibunya, maka dihembuskanlah mitos tersebut. Tapi wallahu a'lam bener apa gak. Yang jelas saya gak percaya sama sekali sama mitos itu! Perempuan yang habis melahirkan seharusnya makan apapun yang bergizi.

Nahh, kalau mitos yang berhubungan dengan bayi yang gak saya percaya salah satunya adalah soal pemakaian gurita. Katanya kalau gak dipakaikan gurita nanti perutnya buncit. Hadeh plis deh. Dulu saya dipakaikan gurita terus juga tetep aja perut saya buncit *eh =D Kemarin anak saya sempat pakai gurita sih selama sebulan. Tapi bukan karna saya percaya mitos tersebut. Semata untuk menghargai orangtua saja :)

Terus satu lagi. Di tempat saya ada kebiasaan tempat di mana plasenta dikubur harus dikasih lampu. Karna kalau gak, nanti bayinya rewel karna 'saudaranya' selama dalam kandungan ada dalam kegelapan =D Buktinya udah dikasih lampu 20 watt kalau si bayi pengen nenen gak dikasih juga tetep aja nangis =P

Masih banyaaakkk sekali sih sebenarnya. Saya gak hafal =D

Yang jelas sih kalau saya pribadi, lebih memilih untjk gak mendebat orang yang mempercayai mitos-mitos tersebut. Apalagi kalau orangtua. Berusaha jelasin sebisa saya, tapi kalau beliaunya kekeuh tetep percaya, ya sudah. Alhamdulillahnya, ibu saya bukan lagi orang yang kaku soal mempercayai mitos. Beliau sudah mulai open minded. Jadi saya gak perlu terlalu tersiksa gara-gara mitos di atas. Hehe.

Kalau di daerah kalian ada mitos apa saja yang berhubungan dengan bayi dan perempuan yang habis melahirkan?

Minggu, 09 April 2017

Oh, Jadi Begini Rasanya Baby Blues


Saya mengenal istilah baby blues jauh sebelum menikah. Beberapa kali membaca artikel terkait juga. Sayangnya, saya masih gagal paham. Yang saya pikirkan setiap membaca tentang baby blues adalah: kok bisa sih? Punya anak kok bukannya bahagia malah kayak gitu? Kok kayak gak bersyukur? Dan lain sebagainya.

Setelah menikah, saat sudah hamil saya cukup sering baca tentang baby blues. Terutama tulisan para blogger, yang kebanyakan menceritakan pengalaman pribadi mereka sendiri. Dari tulisan-tulisan itu, saya mulai paham. Baby blues bukan tentang gak bersyukur. Bukan juga tentang gak bahagia mendapat anugrah berupa anak. Baby blues itu soal lain.

Meskipun sudah mulai paham tentang baby blues, saya tetap yakin dan optimis gak akan terkena syndrom tersebut setelah melahirkan nanti. Saya yakin hanya akan ada tawa bahagia saat si kecil lahir. Sayangnya, keyakinan saya gak saya barengi dengan upaya pencegahan. Saya sama sekali gak melakukan apapun sebagai usaha agar baby blues gak menyapa.

Hingga tibalah saatnya, ketika saya berkata lirih dalam hati, "Oh, jadi begini rasanya baby blues".

Sehari setelah melahirkan, sekembalinya saya dari puskesmas tempat saya bersalin, drama demi drama hadir.

Pertama, ketika ASI saya gak kunjung keluar. Sepulang dari puskesmas, saya meminta mbak saya yang juga masih menyusui, untuk menyusui Faza sejenak yang sejak lahir belum mendapatkan ASI. Melihat ia menyusu dengan semangat, hati saya teriris. Karna bukan saya yang menyusuinya. Saya cemburu. Tapi saya masih bisa menahan diri.

Lalu satu demi satu tetangga datang menengok. Dan pertanyaan yang ditanyakan oleh hampir semua yang datang adalah, "air susunya sudah keluar belum?". Lebih menyakitkan lagi, ketika beberapa orang (yang masih saudara) menganggap saya tega ketika tau saya belum membelikan anak saya susu formula, padahal ASI saya belum keluar.

Kamu kira anakmu gak lapar? Nanti malem kalau rewel gimana? Dinanti-nanti kapan lahir kok begitu lahir kamu biarkan lapar sih? Dan masih banyak lagi yang mereka katakan. Bodohnya, saat itu saya membuang-buang tenaga dengan menjelaskan bahwa bayi bisa bertahan tiga hari tanpa asupan apapun. Penjelasan yang akhirnya hanya seperti angin lalu bagi mereka.

Esok harinya, drama selanjutnya terjadi. Hati saya kembali seperti diiris-iris melihat tatapan sayu Faza yang tetap bersedia terus menyusu pada saya meskipun tak setetespun ASI keluar. Saya tau ia lapar.

Belum usai sampai di situ. Ibu saya yang prihatin melihat cucunya yang lapar, berkomentar. Dengan nada prihatin, beliau menyayangkan saya yang sudah sejak jauh-jauh hari membeli segala perlengkapan berkaitan ASI. Pompa ASI, botol ASIP, dll. Entah apa hubungannya dengan ASI saya yang belum keluar, saya juga gak tau. Yang jelas, saya sedih sekali mendengarnya.

Tepat setelah itu, saya bersiap mandi. Ketika baru masuk ke kamar mandi, tiba-tiba suami saya menyusul ikut masuk, karna ia masih khawatir dengan kondisi Hb saya yang masih sangat rendah. Entah kenapa, saat melihat suami saya masuk, tiba-tiba tangis saya tak terbendung. Pecah sepecah-pecahnya. Saya menangis meraung di pelukan suami saya. Saya merasa jadi ibu yang gagal, dan semua orang memojokkan saya. Setelah agak tenang, dengan masih berlinang air mata saya suruh suami saya pergi membeli susu formula. Yang ada di benak saya saat itu hanya satu, yang penting Faza kenyang. Masa bodoh soal ASI Eksklusif.

Hari-hari setelahnya, saya masih sering dirundung rasa sedih. Terutama ketika memberikan susu melalui dot pada Faza. Saya ketakutan, gimana kalau nanti bingung puting? Gimana kalau nanti jadi gak mau lagi menyusu pada saya sama sekali? Alhamdulillah, ketakutan saya gak terjadi. 10 hari setelah melahirkan, ASI saya keluar. Dan di usianya yang ke 11 hari, Faza gak lagi minum susu formula hingga hari ini.

Apakah baby blues saya hanya soal drama ASI? Tidak.

Soal berbagai adaptasi yang harus segera saya lakukan setelah memiliki anak juga membuat saya sering dirundung kesedihan dan keresahan. Dunia saya seolah terbolak-balik.

Dulu, saya orang yang paling gak bisa diganggu soal tidur. Ada keributan macam apapun, gak akan ngaruh kalau saya memang lagi tidur pulas. Satu lagi, jika jam tidur saya berubah sedikit saja, saya pasti akan 'rewel'. Misal, saya biasa tidur jam sembilan malam. Tiba-tiba karna suatu hal, saya harus tidur jam sebelas malam. Paginya saya pasti akan pusing, lesu, atau badmood.

Setelah punya anak? Mau gak mau saya harus bangun ketika ia merengek minta nenen, sepulas apapun tidur saya. Paling sedikit tiga kali dalam semalam.

Siangnya pun saya gak bisa 'balas dendam', seperti yang dulu biasa saya lakukan saat kurang tidur. Saya harus menyesuaikan jam tidur Faza. Itupun seringkali belum juga pulas, saya sudah harus bangun karna Faza terbangun :(

Dunia saya tiba-tiba hanya soal Faza, Faza dan Faza. Faza yang taunya hanya tidur, nenen, dan ngompol. Yang mau diajak ngobrol model apapun gak akan merespon. Yang ketika nangis gak bisa diajak kompromi sama sekali, kecuali jika disodori puting.

Sekali lagi, ini bukan soal gak bersyukur. Ini soal beratnya masa adaptasi. Saya yang dulu bisa melakukan apapun yang saya mau, pergi kemanapun yang saya pengen, tiba-tiba harus selalu mempertimbangkan Faza di atas segalanya. Bahkan ketika saya haus sekali, sedangkan Faza sedang nenen dan sudah hampir terlelap, maka rasa haus akan saya abaikan demi agar Faza gak batal tidur. Saat Faza menangis dan kami sedang hanya berdua di kamar, gak jarang saya akan ikut menangis =D

Saya juga kadang heran. Kok bisa sih saya baby blues. Padahal saya ada di tengah kondisi yang amat nyaman. Saya ada di rumah orangtua saya. Saya bebas dari segala tugas. Tugas saya hanya satu, yaitu mengurusi Faza, itupun masih banyak dibantu oleh ibu saya. Segala kebutuhan saya tercukupi. Ibu saya selalu menuruti apapun yang saat saya pengen makan sesuatu.

Tapi tetap saja saya merasa 'tidak aman'. Saya selalu merasa was-was dan resah. Satu-satunya orang yang membuat saya merasa 'aman' adalah suami saya. Hanya pada dia saya berani mengungkapkan apa yang saya rasakan saat itu. Padahal saya yakin, suami saya sebenarnya gak benar-benar paham soal baby blues.

Secara tersirat ia sempat bertanya, bukankan saya dari dulu amat ingin segera memiliki anak setelah menikah? Bukankah dulu saya bahagia sekali ketika hamil? Bukankah yang amat gak sabar menanti kelahiran anak kami adalah saya? Kenapa ketika sudah lahir malah saya seperti ini?

Tapi beruntungnya, meski suami saya gak benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi pada saya, ia tetap bersedia merengkuh saya. Menenangkan saya. Menyediakan pundak dan telinga untuk saya.

Yah, begitulah. Ternyata seperti ini rasanya baby blues. Alhamdulillah perlahan tapi pasti, perasaan sedih, resah dan was-was saya mulai hilang. Saya bersyukur hampir melewatinya. Dan bersyukur karna baby blues yang saya alami gak sampai tahap membenci atau ingin menyakiti Faza.

Tulisan ini saya buat dalam rangka terapi dan berbagi. Saya yakin banyak yang mengalami hal seperti ini, tapi tak mampu mengungkapkannya karna berbagai alasan :)

Kamis, 06 April 2017

#BincangKeluarga: Upload Foto Anak di Media Sosial, Iya Nggak ya?

Upload Foto Anak di Media Sosial, Iya Nggak ya?. Dulu, setiap punya ponakan bayi pasti saya hobi sekali upload foto mereka ke media sosial. Yah, gimana ya... saat itu status saya masih jomblo bahagia. Mau upload foto mesra bareng pasangan, pasangannya belum ada. Jadi ya ponakan jadi korban. Hihi.

Saat itu pernah terbersit sebuah keinginan di benak saya. Suatu saat nanti ketika punya anak, saya akan mengabadikan setiap jengkal perkembangannya melalui foto. Foto umur sehari, seminggu, sebulan, dan seterusnya. Lalu menguploadnya ke media sosial. Atau membuatkan akun instagram khusus untuknya, seperti yang sedang hits saat ini.

Ternyata kenyataannya?



Baca punya Ade:


Hadeh, boro-boro mengupload fotonya ke media sosial, sempat jepret fotonya aja jarang banget :( Waktu saya seperti benar-benar sudah habis untuk menyusui dia. Saat dia tidur, kerjaan lain juga rasanya manggil-manggil. Sekalinya sempat foto, saya hampir selalu gak puas sama hasilnya. Di mata saya, hasil foto saya amat buruk jika dibandingkan dengan saat saya melihat anak saya secara langsung. Hihi. Saya tau ini subjektif :)

Bahkan hingga hari ini, saya cuma punya dua foto dengan anak saya, itupun foto yang diambil oleh suami saat masih di puskesmas usai melahirkan. Hiks. Makanya jujur saya heran sekaligus iri sama teman-teman yang barusan melahirkan, terus bisa selalu upload foto anaknya ke media sosial. Melihat mereka, saya jadi merasa mungkin saya yang gak pinter manajemen waktu. Sampe sekedar foto aja gak sempet -_-

Tapi oh tapi... beberapa hari lalu saya terperangah ketika menekuri timeline facebook yang dihebohkan dengan terbongkarnya sebuah grup pedofil yang amat menjijikkan di facebook. Kabarnya, mereka mengunggah banyak foto anak-anak dan menjadikannya sebagai bahan berfantasi bejat. Naudzubillah :( Saya spontan melihat wajah tanpa dosa anak saya. Darah saya mendidih membayangkan ada orang-orang 'sakit' yang menjadikannya sebagai sarana bermaksiat.

Bulu kuduk saya meremang. Saat itu juga saya bertekad. Saya ingin sekali menahan diri untuk tidak terlalu mengekspose tingkah polah anak saya ke media sosial. Mungkin gak akan mungkin untuk gak pernah upload sama sekali. Tapi seenggaknya membatasi. Sesekali boleh. Terlalu sering jangan.

Saya tau, keinginan untuk menahan diri ini esok lusa akan semakin berat tantangannya. Apalagi saat ia sudah mulai bertingkah lucu dan menggemaskan. Kalau hari ini sih masih enteng saja. Lha kerjaan dia masih sekedar tidur-nenen-tidur-nenen. Apa menariknya diupload ke media sosial =D

Kalau kalian gimana, Bu? Sering mengupload foto anak ke media sosial kah? Share alasannya, ya :)

Selasa, 04 April 2017

Cerita Pengalaman Melahirkan Pertama

Cerita Pengalaman Melahirkan Pertama. Sejak hari pertama anak saya lahir, saya sudah berangan-angan menulis cerita pengalaman melahirkan pertama saya. Selain agar bisa dibaca lagi sewaktu-waktu sebagai dokumentasi kenangan, siapa tau ada yang butuh membaca cerita semacam ini dalam rangka mempersiapkan diri untuk melahirkan pertama kali :)

Berdasarkan perhitungan HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir), HPL (Hari Perkiraan Lahir) anak saya jatuh pada tanggal 9 Maret 2017. Tapi, karna banyaknya orang di sekitar saya yang bilang bahwa kebanyakan bayi laki-laki lahirnya maju dari HPL, maka saya mulai ambil cuti pada tanggal 20 Februari 2017, atau pada usia kehamilan 37 minggu.

Periksa terakhir di usia kehamilan 38 minggu Alhamdulillah posisi di janin sudah mulai masuk panggul berhasil melewati plasenta yang tadinya sempat agak menghalangi kepalanya, meskipun masih kurang turun. Itu artinya, Insya Allah terbuka kemungkinan untuk melahirkan normal. Saya harus lebih memperbanyak jalan saja agar posisi janin segera turun.

Sejak itu, setiap pagi saya jalan-jalan selama kurang lebih satu jam ditemani ibu saya, karna suami di Semarang kecuali saat weekend. Selain jalan-jalan pagi, saya juga memperbanyak sujud (posisi nungging), jalan di dalam rumah, dan aktivitas-aktivitas yang konon bisa membuat janin turun ke jalan lahir.

Saya sempat resah, kok belum juga ada tanda-tanda si adek akan segera lahir. Kontraksi palsu juga belum pernah sama sekali. Padahal tadinya saya yakin sekali dia akan lahir maju dari HPL.

Tanggal 6 Maret 2017 pagi, menjelang mas suami berangkat kembali ke Semarang untuk kerja, akhirnya tanda-tanda pertama itu datang. Saya mendapati lendir kecoklatan saat buang air kecil. Saya langsung laporan mas suami. Tapi dia tetap berangkat karna belum ada mules atau kontraksi sedikitpun. Hari itu keresahan saya berkali-lipat, mengira kontraksi akan segera datang. Ternyata hingga berganti hari, saya masih belum merasakan apa-apa.

Tanggal 7 Maret 2017 menjelang dhuhur, saya kembali terperangah karna mendapati lendir bercampur darah saat buabg air kecil. Jauh lebuh banyak dari hari sebelumnya. Saya kemudian diantar mbak ke bidan. Bu bidan hanya bilang, itu tandanya si bayi sudah akan segera lahir. Ditunggu saja. Lagi-lagi keresahan saya berlipat-ganda. Beberapa kali rasa mulas mulai saya rasakan, tapi kemudian hilang.

Makam harinya, saya mulai gak bisa tidur. Mulas mulai samar-samar hadir, tapi belum seberapa. Saya gak bisa tidur lebih karna resah. Esok harinya, tanggal 8 Maret 2017, lendir darah mulai intens keluar. Mulas pun semakin datang teratur. Awalnya setengah jam sekali. Ba'da dhuhur, mulasnya mulai lima belas menit sekali. Tapi saya masih tahan, masih aktivitas di rumah seperti biasa. Level mulasnya masih seperti saat menstruasi awal. Bahkan saya sempat membatin, 'Oh, jadi mulasnya seperti ini. Kalo cuma seperti ini sih saya tahan lah' =D

Saya belum tau bahwa level mulasnya akan terus bertambah. Ba'da ashar, mulasnya mulai bikin saya meringis. Ohya, mas suami mungkin sudah ada firasat. Tanpa saya minta, beliau memang sudah berencana pulang sore itu.

Menjelang magrib, mas suami datang. Bersamaan dengan mulas yang semakin aduhai. Di tengah kegelapan karna listrik padam, mas suami bergerak cepat mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat ke Puskesmas Nalumsari. Ba'da magrib, kami berangkat.

Sesampainya di puskesmas, saya di periksa dalam oleh seorang bidan. Sudah bukaan empat, katanya. Alhamdulillah. Saya masih kuat berjalan, meskipun mulai gemetar menahan rasa sakitnya. Perhitungan sok tau saya, si adek akan lahir sekitar jam satu malam. Ternyata salah besar =D

Memasuki tengah malam, mulasnya makin menjadi-jadi. Punggung seperti ditusuk dengan puluhan paku. Ibu dan mas suami secara bergantian menghibahkan badannya untuk saya peluk sekuat tenaga saat mulas datang. Sholawat dan berbagai kalimat thoyyibah berusaha terus saya ucapkan. Saat diperiksa dalam lagi, ternyata baru bukaan delapan. Saat saya tanya berapa lama kira-kira waktu yang diperlukan sampai bukaan lengkap, bidannya menjawab kurang lebih dua jam. Saya mengerang tertahan. Gak bisa membayangkan harus merasakan sakit yang seperti itu dua jam lagi.

Tapi rasa sakit itu memang bukan untuk dibayangkan. Hehe. Yang teramat saya syukuri dalam proses melahirkan saya adalah, saya bisa ditemani oleh suami. Lebih bersyukur lagi, dia tegar sekali malam itu. Padahal saya tau persis hatinya gentar. Dialah orang yang menyuntikkan keyakinan bahwa saya mampu, saat saya sendiri sudah merasa hampir gak mampu.

Pukul tiga dini hari, bukaan saya dinyatakan lengkap. Dipandu oleh dua bidan dan ditemani oleh ibu dan mas suami di kanan-kiri saya, saya mulai mengejan. Inilah momen paling dramatis dalam hidup saya. Saya kira seperti cerita ibu, dan seperti yang saya lihat di sinetron-sinetron, mengejan cukup satu-dua kali, lalu bayi lahir. Qodarullah, bagian saya lebih dari itu.

Puluhan kali saya mengejan, si adek belum juga bisa lahir. Hampir dua jam. Tenaga saya sudah semakin menipis. Bu bidan memberi ultimatum, jika setengah jam lagi gak lahir, terpaksa saya harus dirujuk ke rumah sakit. Saya bahkan sempat minta divakum saja. Tapi bu bidan bilang mereka gak punya wewenang untuk itu. Lagipula vakum sangat gak dianjurkan.

Saya hampir menyerah. Tapi mas suami terus membisikkan keyakinan. Saya bisa. Saya kuat. Saya mampu. Adzan subuh berkumandang, saya kembali mengejan. Dan, Allahu Akbar! Gak berselang lama setelah adzan subuh usai, tangis seorang bayi pecah bersama tangis kami bertiga -- saya, mas suami dan ibu saya. Puluhan hamdallah kami langitkan. Puluhan ciuman mas suami kecupkan ke wajah saya. Subhanallah wal hamdulillah...

Foto pertama anak kami, sesaat setelah lahir
Oleh mas suami, bayi kami diadzani lalu ditahnik. Sedangkan saya masih harus dijahit, dan sempat mengalami perdarahan. Setelah tindakan penjahitan selesai, saya dipindahkan ke ruang perawatan, lalu diminta menyusukan bayi saya untuk pertama kalinya. Melihat bayi mungil itu, tangis saya kembali buncah. Akhirnya saya melihat sosok yang selama ini hanya saya rasakan tendangannya di perut saya. Dan bayi itu kami beri nama, Muttaqina Mafaza.

Beberapa saat setelah melahirkan

Kami baru diijinkan pulang 1x24 jam setelah persalinan. Beberapa jam setelah melahirkan saya sempat pingsan dua kali =D Ternyata Hb saya drop sekali setelah melahirkan, dan itu membuat produksi ASI saya agak terhambat.

Yah begitulah. Susah sekali sebenarnya menulis cerita ini agar benar-benar menggambarkan apa yang saya rasakan saat itu. Yang jelas, proses kelahiran benar-benar penuh keajaiban. Sakit memang. Sakit sekali bahkan. Bohong kalau bilang gak sakit. Tapi yang jelas saya percaya bahwa wanita telah Allah setting tubuhnya untuk mampu menanggung sakit luar biasa itu. Sejauh ini saya belum pernah dengar seorang wanita meninggal saat melahirkan yang sebabnya murni karna gak kuat menahan sakitnya.

Untuk para wanita yang sedang hamil dan hendak melahirkan, selamat berjuang. Percayalah, kalian bisa :)