Senin, 04 Oktober 2021

Cerita Promil Anak Kedua (Part. 5): Titik Terendah Pejuang Garis Dua

 Cerita tentang promil anak kedua kali ini, akan sedikit beda sama cerita-cerita sebelumnya. Kalau sebelum-sebelumnya dominan cerita secara teknisnya, di part kali ini mungkin akan lebih banyak curhatnya.

Dan seperti biasaaa, tulisan-tulisan curhat macam gini, seringnya aku tulis justru saat perasaanya sudah lewat. Jadi bener-bener udah tinggal cerita aja.

Baca cerita part-part sebelumnya: Cerita promil Anak Kedua

Sebelum jadi pejuang garis dua juga, aku udah sering baca cerita perjuangan para pejuang garis dua. Yang aku tangkap dari perjuangan mereka adalah, bahwa pejuang garis dua itu bener-bener diuji secara mental, spiritual dan finansial. Ujian paket komplit.

Itulah kenapa, beberapa pejuang garis dua, biasanya cenderung sensitif, apalagi kalau ada hubungannya dengan masalah anak. Ada salah satu tetanggaku yang tiap habis nengokin bayi baru lahir, pasti langsung nangis berhari-hari di kamar. Ya karena memang seberat itu rasanya.

Qodarullah, aku akhirnya gak hanya sekedar baca kisah mereka. Tapi menjadi salah satu yang mengalaminya langsung.

Dan ternyata memang seberat itu 😂

Jadi, sejak aku mulai konsultasi intensif dengan dokter konsultan fertilitas pada bulan Ramadan lalu, saat mens-ku berkepanjangan, saat itulah rasanya aku ada di titik terendah dalam hidupku.

Mungkin sekitar 3-4 bulan aku mengalami fase titik terendah itu. Bener-bener bisa yang detik ini merasa baik-baik saja, lalu lima menit berikutnya tiba-tiba sediiiihhh bangettt nangis-nangis. Dan siklus seperti itu bisa terjadi berulang-ulang selama sehari. Bayangkan betapa capeknya.

Gambaran tentang malaikat dan setan yang sedang adu argumen seperti yang iasa kita lihat di TV tuh seperti beneran terjadi dalam diriku saat itu. Detik ini bisa khusnudzon bahwa takdir Allah pasti baik. Detik berikutnya mewek karena overthinking; kasian Faza jadi kalau gak punya saudara kandung, nanti gimana dia besarnya, nanti gimana kalau aku dan ayahnya sudah gak ada, dll.

Huhu, beneran deh capek banget kalo inget fase itu 😭

Belum lagi tentang keharusan mengubah gaya hidup. Yep, PCOS gak ada obatnya. Dia hanya bisa dikendalikan dengan modifikasi gaya hidup dan beberapa bantuan obat-obatan.

Modifikasi gaya hidup yang utama adalah mengubah pola makan dan rutin olahraga. Yang mana, tentu saja gak mudah. Apalagi untuk kondisi psikis yang sedang sangat labil.

Aku sempat 'marah'. Selama ini perasaan aku makannya nggak ngawur-ngawur amat. Masih makan sayur dan buah. Ada lho yang hampir tiap hari makannya junk food, gak doyan buah gak doyan sayur, tapi kok kayaknya baik-baik saja? Kok hamilnya gampang-gampang aja?

Tapi lama-lama mikir. Lama-lamanya bener-bener lama ya. Setelah merenung, latihan sadar nafas, minum vitamin D (ini pengaruhnya besar banget ternyata ke kondisi mental), Alhamdulillah lama-lama saya makin tenang. Makin bisa mikir jernih.

Yang paling utama, makin bisa melibatkan Allah dalam semua ini.

Bahwa takdir Allah itu pasti baik. Bahwa Allah gak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuan si hamba. Bahwa Allah Maha mendengar segala doa-doa.

Intinya, Alhamdulillah sekarang sudah jauh lebih kalem. Masih tetap ikhtiar semampu yang aku bisa, tapi sambil terus merayu Allah. Sebelumnya kayaknya aku fokus utamanya ke ikhtiar-ikhtiar duniawi, tapi lupa bahwa yang menggenggam segala urusan itu Allah.

Intinya bukan ikhtiar mana yang paling manjur, tapi ikhtiar mana yang Allah ridhoi menjadi wasilah terkabulnya doa kita.

Buat teman-teman para pejuang garis dua, semangat yaaa. Kalau lagi capek, ingat kisah Nabi Zakaria, yang Allah perkenankan mendapat keturunan padahal dia dan pasangannya sudah sangat renta.

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah :)